Giveaway Novel Cinderella Syndrome, Leyla Hana


 

Hehehe....angan-angan sih pengen jadi Novelist, tapi gak gampang untuk menulis cerita berdasarkan fiksi, sulit, sulit, sulit banget. Musti ber-angan-angan, kudu menghayal. Nah, kebetulan ada GA Novel Cincerella Syndrome, karya Leyla Hana nih yang bisa aku ikutin untuk melatih jadi seorang Novelist, hahahahaha....

Dari 3 pilihan karakter dalam novel itu, aku pilih Erika.
Erika, 30 tahun. Wanita karier sukses yang tidak mau menikah seumur hidupnya karena ada trauma masa kecil yang sulit dihilangkan. Namun, ia tiba pada pilihan harus menikah, karena hanya dengan menikahlah ia bisa terlepas  dari masalah yang sedang membelitnya.

Bismillahirrakhmaanirrakhim............. aku mau mulai berfantasi-ria, semoga memenuhi kriteria mbak Layla Hana.
 ------------------------------



Kembali Erika merenung betapa bahagia ibunya ketika telah berusia 80an masih juga bisa beranjangsana dari anak yang satu ke anak yang lain. Penuh bahagia. Seolah tak pernah ada masalah yang dihadapinya di hari tuanya. Sedangkan ia sendiri? Tahun ini usianya memasuki tahun ke-30. Usia yang seharusnya sudah menggandeng seorang suami dan paling tidak 2 orang anak akan meramaikan rumah tangganya. Suasana dirumah tidak akan sepi. Sesepi hatinya sekarang. 

Ia memiliki saudara yang tidak sedikit. Delapan orang saudara laki-laki dan perempuan. Namun dengan kesibukan mereka masing-masing, seolah tak ada lagi celah baginya untuk menyeruak ke lingkungan mereka. Mereka disibukkan dengan keluarga kecil mereka masing-masing. Lagipula adik-adik dan kakak-kakaknya selalu saja memandang dirinya dengan pandang yang menyudutkan.

“Rik, apa sih yang kau jadikan patokan untuk mencari suami?” suatu ketika kakak tertuanya melontarkan tanya itu. Sebuah tanya yang tidak ia sukai. Dan selalu sebuah jawab yang tidak pernah ia berikan.

“Bang, mbak Rika itu  merasa sudah cukup hidup sendiri. Semua serba ada. Apa sih yang tidak ia miliki? Mbak Rika tidak memerlukan orang lain dalam hidupnya. Lihat saja mbak Rika kan jarang mau kumpul-kumpul sama kita. Setiap ada pertemuan keluarga selalu saja ia mempunyai alasan untuk menghindar”, celoteh adik bungsunya, Erni. Ia amat menyayangi Erni seperti ia menyayangi dirinya sendiri. Tapi ketika telinganya menangkap kata-kata Erni ini, begitu saja perasaan  sayang itu gugur seperti sebuah gunung es yang meleleh. Melata mencari tempat di seluruh relung hatina yang paling dalam. Ia menangis mendengarnya, namun kemana air mata itu mengalir? Sakit dan pedih dirasakan oilehnya. 

 “Apa benar pendengarannya bahwa kata-kata itu terucap dari mulut mungil Erni?” bisik bathinnya. Namun ia tak perlu mencari jawab atas keraguan yang menggelegar ini. Dilihatnya Erni tersenyum. Dan Erni mengerling penuh cemooh. Ia menangis. Air mata yang berurai itu begitu saja menyusup di sela-sela bongkah hatinya yang serasa teriris. Pedih. Sejauh ini ia masih sanggup untuk menahan bendungan itu menembus kelopak matanya yang bagus. Tak ada air mata dipipinya yang masih mulus. Pun tiada kekecewaan yang menggurat diwajahnya mendengar semua tanya yang menerpa daun telinganya. 

Ketika ia kembali kerumah mewahnya yang sepi. Sesuatu telah menoreh jantungnya. Sepinya hati ini

“Mereka memang pantas mengolok-olok aku, tapi mereka tidak berhak menyinggung perasaanku!”, gumamnya dalam hati. 

Keinginan untuk memiliki kehidupan di masa tua seperti yang dipunyai oleh ibunya kembali menjadi sebuah keinginan.. Semakin lama semakin tebal. Namun kenangan pahit masa kecil yang terjadi di lumbung padi ketika ia berusia delapan tahun terus menghantui dirinya. Mungkinkah karena berciuman dan berpelukan dengan lawan jenis akan menghilangkan keperawanannya? Sebuah permainan yang ketika itu mereka sebut “main dokter-dokteran”. Teman-teman sebayanya juga melakukan hal yang sama, hanya karena di-iming-imingi sebuah mainan yang terbuat dari batang padi oleh anak-anak lelaki itu. Bodohnya aku. Dungunya kami. Tapi teman-teman sebayanya dulu kini telah berbahagia, berkeluarga dan beranak-pinak. Kehidupan mereka dimasa tua pastinya akan seperti ibunya. Memutar waktu dengan berkeliling dari anak yang satu ke anak yang lain. 

Hanya kerumah Erika saja ibunya jarang sekali bertandang  Erika merasa bersalah pada ibunya karena setiap kali ibunya membicarakan jodoh, selalu saja ia menghindar. Menjadikan ibunya tersinggung, menangis dan lama tidak akan berkunjung kerumahnya lagi.

“Saudara-saudara sekandung ketika sudah berumah tangga akan menjadi super sibuk dengan diri   mereka sendiri. Mereka tidak akan peduli pada diriku kelak bila aku telah renta. Namun anak-anak yang akan kulahirkan. Belahan jiwaku . Mereka akan memberikan kebahagiaan tersendiri. Penuh kasih sayang mereka akan membukakan pintu hati mereka menyambut kedatanganku. Seperti semua saudara-saudaranya ketika menyambut ibu mereka di usia senjanya.” Rentetan kalimat yang menggelinding dalam benaknya telah menyadarkan Erika apa yang harus dilakukannya. Ia harus melangkah. Demi masa depan. Apa pun bentuk wadah di hadapannya nanti harus ia terima.

Terbersit keinginan di dalam dada untuk menikah. Sesegera mungkin sebelum usianya merambat meninggalkan angka 30.

“Untuk siapa harta yang aku kumpulkan selama ini bila aku tidak menikah dan memiliki keturunan”, hatinya seolah tersentak. 

“Ya! Untuk siapa?” bawah sadarnya menguatkan. Ikut berkompromi dengan dirinya.

Malam ini adalah untuk yang terakhir kalinya ia akan menghadiri pertemuan keluarga. Erika akan mengesampingkan segala ocehan  dan celotehan saudara-saudaranya tentang kesendiriannya. Dia akan berusaha untuk tegar. Ia harus mampu menguasai dirinya. Bukan Erika namanya kalau ia tidak mampu menangkis semua celoteh, cemoohan yang dilontarkan pada dirinya. Semua akan menguap seperti terbawa angin. Malam ini ia akan hadapi apa pun kritikan pedas mereka. Malam ini ia akan menampilkan dirinya yang paling tangguh. Dan malam ini pula ia akan memberi sebuah kejutan kepada mereka tentang sebuah keputusan yang sejak semalam telah terpateri dengan begitu lekatnya dihati dan benaknya.

Seperti biasa pada setiap pertemuan keluarga ia selalu menjadi bulan-bulanan semua saudara-saudaranya. Biasanya ia akan menghindar. Ia akan memasuki sebuah ruangan sunyi. Berusaha untuk tetap tabah dan menerima cemoohan itu. Tapi tidak kali ini.

Wajah-wajah yang lengkap telah berada di ruang keluarga memandang  aneh  kearahnya. Termasuk wajah sendu Erni, adik kesayangan yang selama ini  ia kira selalu memihaknya. Dan ia mengira Erni  satu-satunya saudara yang akan membelanya kala ia lmendapat serangan dari saudara yang lain. Tapi tidak. Erni pun berada dipihak mereka. 

“Salahkan bila aku memilih kehidupan ini? Bukankah hidup itu adalah sebuah pilihan?” hatinya terus membelai lembut bawah sadarnya.. Dan ia membiarkan segumpal daging di dadanya menggelegak mewakili perasaannya. Malam ini pilihan itu pastinya akan mengejutkan mereka.

“Malam ini dengan izin Allah akan merupakan malam terakhirku bersama kalian, orang-orang yang aku cintai, terutama ibu yang selalu ingin aku buat bahagia. Namun ternyata sampai detik inipun ibu masih menyimpan kekecewaan yang besar.  Aku belum juga menikah”, Kata-kata Erika diawal pertemuan itu cukup membuat wajah-wajah yang semula sumringah itu menjadi seperti ditutupi awan kelabu.
Erika tidak peduli dengan pemandangan penuh tanya pada wajah-wajah yang ia sendiri sulit menerkanya. Wajah sumringahkah? Atau tampilan indah yang menyembunyikan cemoohan untuk dirinya. Masa bodoh dengan semua itu. Karena malam ini semuanya akan segera berakhir. Dan ia meneruskan dengan suara yang lebih lantang:

“Karena jenjang karir yang tinggi dan kesuksesan yang aku miliki, seolah aku tak pernah ditoleh oleh pria Indonesia mana pun. Mereka ragu untuk menghampiri aku. Juga lebih ragu lagi untuk menyunting aku. Mereka menganggap aku akan menjadi saingan dalam kehidupan mereka kelak”.

Erika mencoba menghela nafas agar ia tidak terlalu memperlihatkan bahwa sebenarnya ia sedang bahagia.. Ia memantulkan pandangan kearah ibunya. Di mata tua itu terbersit rasa penyesalan yang dalam. Hanya dirinya dan Allah saja yang tahu betapa diri yang rapuh ini sangat menyayangi Erika. Mata itu penuh tanda tanya yang ingin menyembur dan segera ingin mencapai wadah jawaban pasti. Erika tersenyum.

“Aku putuskan untuk mencari Pangeranku di negeri orang. Besok aku akan berangkat ke Negara bersalju dan aku akan mengabdikan diriku sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi ternama di Negara itu. Aku akan memulai hidupku dari awal. Aku percaya bahwa Allah akan memberiku rizki yang berlimpah walaupun aku akan memulainya dari nol Rizki itu akan kita dapatkan apabila kita mengaisnya dengan niat yang baik dan dengan usaha yang maksimal.  Aku akan meninggalkan semua yang aku miliki disini untuk ibu. Aku ikhlas. Dan aku mohon keikhlasan ibu melepasku pergi. Aku akan dengan sepenuhnya membuka pintu hatiku disana. Untuk Pangeran mana pun agar aku bisa menghayati dan menjalankan perintahNya untuk hidup ber-pasang-pasangan. Insya Allah.
Erika menghampiri ibunya. Memeluknya dengan erat dan berbisik lirih:
“Do’akan aku akan memiliki kehidupan di masa tua seperti ibu.” Ibunya memeluk Erika dengan erat seolah tak kan dilepaskannya lagi. Dipagutnya dengan kuat bahu Erika.. Erika menciumi kedua belah pipi ibunya, keningnya dan kelopak mata tua itu pun ia kecup ber-ulang-ulang.

“Selamat tinggal ibu, do’akan  aku akan menemui Pangeran Impianku disana.” Bisiknya. Silih berganti Erika memeluk dan menyalami sanak keluarganya.
 Sekali lagi Erika memeluk ibunya. "Ibu.......Bob Wagner, yang kukenal melalui jejaring sosial fesbuk selama dua tahun adalah pilihanku. Ia seorang jutawan, usianya 48 tahun, seorang mualaf, tampan pula.  Ia akan aku perkenalkan pada ibu, suatu saat nanti", bisik Erika pada dirinya sendiri.

Dan ketika Erika melangkah meninggalkan ruangan itu, semua mata seolah tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Erika yang mereka sering cemoohkan. Erika yang acapkali mereka sudutkan. Dan Erika yang selalu dan selalu saja menjadi topik pembicaraan di setiap pertemuan keluarga. Erika, Erika dan Erika lagi.










Komentar

  1. aku belum baca novelnya bun, semoga sukses ya

    BalasHapus
  2. Lidya - Mama Cal-Vin, bunda juga lom baca tuh, makanya ikutan deh GA ini, siapa tau menang.....hehehehehe....ngarep.com.
    Makasih ya kunjungannya.

    BalasHapus
  3. Lidya - Mama Cal-Vin, bunda juga lom baca tuh, makanya ikutan deh GA ini, siapa tau menang.....hehehehehe....ngarep.com.
    Makasih ya kunjungannya.

    BalasHapus
  4. Nunu El-fasa, thank you...seneng liat ada Nunu disini. Makasih kunjungannya. Bunda lagi belajar menghayal total nih, hehehehe....

    BalasHapus
  5. salut buat semangatnya bun, saya kurang gemar baca nih tularin donk :D

    BalasHapus
  6. hebat..... aku juga mau dong di tularin... :)

    BalasHapus
  7. Wahhh, bunda inspirasinya keren banget nih
    ngayal aja bisa bikin tulisan sebagus ini..
    Apa kabar Bunda?
    Maaf lahir batin ya, dari menantu di jember. Semoga Bunda bahagia dan sehat selalu...

    Semoga menang ya Bun...

    BalasHapus
  8. jay boana, hihihiii...paling bisa nih! Masa sih rajin baca koq ditularin........mangnya flu, qiqiqiqiiii........bunda juga sebenernya rada-rada kurang waktu buat baca, wlp seneng. Baca buku suka gak ampe selesai, trus sok-sok-an ambil kesimpulan....trus tutup deh bukunya. Jay, makasih kunjungannya ya.

    BalasHapus
  9. obat miama herbal, makasih kunjungannya ya. Ada-ada aja masa gemar baca bisa ditularin. Apa iya? hehehehe.........

    BalasHapus
  10. apikecil sayaaaang.....bunda sehat-sehat aja. Maaf lahir bathin juga dari bunda. Wah! itu sih pujian datengnya dari anak onlainku aja kallleee...siapa lagi yang muji kalo gak anaknya. He-eh nih piye sih mantu onlainku koq jarang nyapa, hiks, hiks. Prit, makasih ya kunjungannya. Bilang-bilang bunda kalo udah titik2 ya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu