SIM Sekedar untuk Ber-gensi-ria.
Aku memiliki empat orang
anak. Tiga orang perempuan. Satu laki-laki. Keempat anakku ini semua bisa
mengemudi, baik sepeda motor, maupun mobil. Entah bagaimana cara mereka belajar, aku sama sekali tidak tahu menahu. Tahun 1989 ketika aku pindah dari Tanjung Priok ke wilayah Tangerang Selatan, aku dibuat terkejut. Ape pasal tekejut tu Ma'cik? hehe... Gimana gak terkejut, lha wong anakku (perempuan) yang ke-3, umur 15 tahun, tiba-tiba dengan nekatnya mengemudi sebuah mobil Jeep. Alamaa...SIM pun ia tak punya. Tapi karena ada adikku yang laki-laki mengiringi dengan mobil Avanza, aku jadi tenang. Salut, tanpa SIM pun ia berani mengemudi dan cara stir mobilnya? Okpu alias oke punya. (Menurut adikku yang mengiringinya. Alhamdulillah.)
Surat Izin Mengemudi (SIM), bagaimanapun wajib dimiliki agar aman dari incaran polisi iseng dalam perjalanan, yang biasanya seringkali bersembunyi di tempat yang tidak kita sangka-sangka. Gak taunya, tiba-tiba priiiit.......
Aku tahu banget bahwa, biasanya, untuk mengurus SIM itu selalu ada kaitannya dengan istilah "uang tembak". Bingung mulai jadi raja dalam otakku. Mau melalui "Calok" aku gak punya cukup keberanian. Takut di "kerjain dalam hal uang jasa." Apa akal?
Aku tahu banget bahwa, biasanya, untuk mengurus SIM itu selalu ada kaitannya dengan istilah "uang tembak". Bingung mulai jadi raja dalam otakku. Mau melalui "Calok" aku gak punya cukup keberanian. Takut di "kerjain dalam hal uang jasa." Apa akal?
Aku pun mulai deh kasak-kusuk
menghubungi seorang kakakku yang bekerja di Polda Metro Jaya. Waktu itu tahun
1989. Tak ada kesulitan yang berarti. Kakakku yang pegang peranan, hehe... Hanya dua orang anakku yang bisa dibuatkan SIM, yang lahir tahun 1969 dan 1970. Biayanya? Alhamdulillah, biaya resmi. Tentunya pastilah ada "uang semir" untuk anak buah kakakku yang mengurus. Tapi kakakku bilang:
"Jangan dikasih tip berupa uang, ya! Belikan aja dia souvenir atau makanan."
Aku pun harus menuruti permintaan kakakku. Menjaga nama baik kakakku juga, khaan?
"Jangan dikasih tip berupa uang, ya! Belikan aja dia souvenir atau makanan."
Aku pun harus menuruti permintaan kakakku. Menjaga nama baik kakakku juga, khaan?
Anakku yang lahir tahun 1974 waktu itu terpaksa gigit jari karena belum bisa dibuatkan SIM, padahal kenekatannya mengendarai mobil boleh diacungin jempol tuh. Bayangkan tahun 1989, tanpa SIM berani-beraninya dia nyetir mobil dari Tanjung Priok sampe Pamulang, Tangerang Selatan. Safely.
Tahun 1999 -- lucunya timbul keinginanku untuk bisa menyetir mobil. Keinginan itu begitu menggebu. Kenapa justru tahun 1999? Karena pada tahun itu, aku pensiun. Ada peraturan, dari PT Siemens, bahwa usia pensiun adalah 62 tahun. Bayangkan, mengingat kejenuhan tidak punya aktifitas, apa harus disalahkan keinginan itu bercokol dalam benakku? Banyak ibu-ibu diatas usia separuh baya yang menyetir mobil sendiri. Kenapa aku gak? Setan mulai menggoda. Tapi aku masih sadar ada suami dan anak-anak tempat aku berembuk. Ketika mereka mendengar niatku untuk belajar setir mobil, serentak mereka berkomentar:
"Ya, ampun, Mama, buat apa sih? Kan ada kita-kita nih yang bisa setir mobil. Mama tinggal duduk manis aja deh. Gak usah mikirin pengen bisa setir mobil segala."
Iiiih..kesel juga hatiku. Tapi demi kedamaian dalam keluarga terpaksa aku urungkan niatku. Aku berkompromi dengan hati kecilku.
Iya, ya betul juga Buat apa aku belajar setir mobil? Mobil aja kami gak punya. Aduh, si emak ini pengen juga bisa mengemudi dan
memiliki SIM. Aku sadar sepenuhnya. Kalau keinginan bisa setir mobil dan memiliki SIM Sekedar untuk Ber-gensi-ria, untuk apa? Tidak akan ada manfaatnya.
Keinginan itu kini sudah tenggelam di laut yang paling dalam. Tak pernah lagi ada tersirat dalam hati untuk bisa memiliki SIM . Kata-kata anakku sekian tahun tahun yang lalu masih ku ingat:
"Ya, ampun, Mama, buat apa sih? Kan ada kita-kita nih yang bisa setir mobil. Mama tinggal duduk manis aja deh. Gak usah mikirin pengen bisa setir mobil segala."
Apa yang mereka katakan itu sudah terealisasi kini. Aku benar-benar bisa duduk manis disebelah anakku yang dengan santai mengemudikan mobilnya. Alhamdulillah, ya Allah..
Keinginan itu kini sudah tenggelam di laut yang paling dalam. Tak pernah lagi ada tersirat dalam hati untuk bisa memiliki SIM . Kata-kata anakku sekian tahun tahun yang lalu masih ku ingat:
"Ya, ampun, Mama, buat apa sih? Kan ada kita-kita nih yang bisa setir mobil. Mama tinggal duduk manis aja deh. Gak usah mikirin pengen bisa setir mobil segala."
Apa yang mereka katakan itu sudah terealisasi kini. Aku benar-benar bisa duduk manis disebelah anakku yang dengan santai mengemudikan mobilnya. Alhamdulillah, ya Allah..
aku dipaksa2 bapa belajar mobil, belum lancar2 buund >.<
BalasHapusHarus sering dipraktekin, kalo gak nanti gak lancar-lancar. Makasih kunjungan Ranii.
Hapusahaaaa bundaaaa selalu inspiratif dengan semangamu. klo aku jadi anak bunda juga pasti mikir gtu.. udah bunda duduk manis ajaaa hehe
BalasHapusMakasih y bunda udah berpartisipasi.. salam hangattt
Sekarang kan juga udah jadi anak bunda tuh, wlp anak online. Tapi kalo yang nyetir si bontot, bunda gak bisa duduk manis, coz si bontot itu paling seneng ngebut, gak boleh di salib mobil lain. Bunda seneng banget bisa berpartisipasi, sensasi ikutannya itu lho yang bunda suka.
HapusIYa bunda... Enakan tinggal duduk manis, ga usah nyetir sendiri.. Sukses ya bund GA nya ^^
BalasHapusJadi pengen ikutan juga Hahaha
Ayo Bunda Dzky ikutan, kan DLnya masih tgl. 30 Juni tuh. Mksh do'anya dan mksh juga kunjungannya.
Hapusenakan gitu Bunda, duduk manis ajah...Godluck Ganya ya Bunda,,
BalasHapusfitri anita, betul juga ya enakan duduk manis, bisa sambil tenguk-tenguk ngantuk, hehe... Mksh do'anya dan mksh juga kunjungan fitri ke blog bunda.
Hapuskaum perempuan duduk manis diboncengan, tapi aku juga pengen sih bund bisa nyetir mobil hehe
BalasHapusHehe.. ternyata bunda ada temennya nih yang blom bisa nyetir mobil. Ayu Citraningtias, masih muda, ayo belajar nyetir. Mksh ya kunjungan Ayu ke blog bunda.
HapusAku nyetir kebutuhan nih buun, kalo bisa mah maunya pake supir aja hahaha tapi berhubung pendapatan terbatas aku aja lah yang jadi supir jadinya sekarang supir pribadi anak dan misua :P
BalasHapusRina, anak bunda juga jadi supir pribadi suami dan bundanya, hehe....menghemat, katanya. 'Tul juga sih, sangat, sangat ngirit pengeluaran. Mksh kunjungan Rina ke blog bunda ya.
Hapus