MFF PROMPT#19 - Sebuah Do'a yang Dijabah Allah.



Jemari munginya dalam genggamanku terasa hangat. Sesekali aku tundukkan kepala untuk melihat wajahnya. Binar senyumnya. Langkah-langkah kecilnya diiringi lompatan kecil membuat hatiku tidak tega menyampaikan maksudku.

“Bude, kita mau kemana?”

Aku membisu sejenak. Berpikir akan sebuah jawab yang harus kuberikan.

“Budeee…jawaab!”

Dia mengayunkan lengan kami yang berpagut, keatas, kebawah. Bibirku terkatup. Rapat. Haruskah aku membisu hingga mencapai ujung jembatan itu? Hatiku teriris.. Andaikan aku Ratih, pertanyaan yang sama juga akan aku sampaikan. Penasaran seperti yang dimiliki Ratih pun akan bergayut dalam benak. Haruskah?
Lagi. Dia menggoyangkan pagutan lengan kami.

“Ayoo, bude koq diem aja sih? Jawab, Budeee! Ratih mau dibawa kemana? Katanya mau naik mobil. Mana mobilnya?” Nada kekecewaan mulai membuyarkan binar matanya.


Ratih, andaikan kau tahu betapa aku menyayangimu. Sekiranya kau tahu, aku juga tak mau kehilanganmu. Keponakan lucu dan cantik sepertimu, siapa pun ingin memilikinya. Tapi, demi masa depanmu, aku harus melepasmu. Kutuklah aku bila kau mau, karena aku telah mengingkari janji kepada ibumu untuk merawatmu selamanya. Aku tak bisa, Ratih. Aku tak mau kau melihat penderitaanku. Dokter memvonisku, aku hanya bisa bertahan hidup, paling lama setahun lagi. Walau ajal adalah ketentuan Allah, namun begitulah vonisnya. Aku menderita leukemia, Ratih. Aku tak mau kau menghadapi kepergianku.

“Bu, kita jadi berangkat?” sebuah suara membangunkannya dari lamunan.

Cepat  kuseka butiran bening yang jatuh dari kelopak mataku. Kurengkuh Ratih. Erat.

Insting Ratih mengatakan ia harus lari. Lari menjauh dari laki-laki itu.

“Tidaaak, aku tak mau pergi! Aku mau bersama Bude. Apa pun yang terjadi. Aku sudah baca tentang penyakit Bude. Aku mau disamping Bude.”

Mereka berkejaran diatas jembatan yang rapuh itu. Jembatan bergoyang dan sebagian ambruk. Dua tubuh terpelanting keatas bebatuan tajam. Aneh. Mereka berpelukan dengan darah mengalir dari kepala.

Laki-laki itu cepat melompat ke sungai yang berbatu padas. Ia membungkuk dan meraba nadi kedua tubuh yang terhempas. Tak ada detak lagi. 

Laki-laki itu bergumam lirih:

“Allah Maha Mendengar.  Keinginan anak kecil itu dijabah olehNya. Innanilahi wainna ilaihi rojiuun. Telah berpulang dua makhlukMu yang saling cinta dengan caraMu.”



Komentar

  1. Balasan
    1. Elka Ferani, kayak beneran ya? Kalo gitu bunda udah hampir lulus nih belajar FF di MFF. Tentu aja itu adalah fiksi, sayang. Sebuah Flash Fiction, cuma bunda belum sanggup tuh dibawah 300 words, walaupun FF dibolehkan 500 words, tapi di FF, katanya, yang okpu tuh yang 200an words.

      Hapus
  2. Aduhh bunda tragis sekali. Tadinya Ratih mau di adopsi sama bapak itu ya? :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bunda aja kaget. Lho koq pikiran bunda jadi melayang seperti itu. Maafkan bunda ya Ratih dan Bude, hehehe... Bukan, bukan di adopsi, tapi itu adalah Ketua Yayasan, critanya.

      Hapus
  3. Akhir yang tragis tapi mungkin itu yang terbaik..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitu juga yang terpikir oleh bunda ketika menulis naskah ini. Mksh kunjungan Bunda Dzaky ke blog bunda.

      Hapus
  4. Balasan
    1. Rini Uzegan, makasih untuk merindingnya, berarti bunda "hampir" berhasil belajar menulis ya. Bener juga tuh kata-kata para pakar menulis, bahwa kalo kita mau nulis, ya nulis aja, jangan tunggu ide datang -- duduk depan komputer, ketik aja. Ide datang sendiri. Betul juga. Frankly speaking bunda menulis FF diatas gak nyampe lho satu jam.

      Hapus
  5. Balasan
    1. s.o.out there, maaf ya gak sengaja jadi tragis. Makasih kunjung s.o.out there ke blog bunda.

      Hapus
  6. Waduh Bun... tragis ... kemanapun Bude pergi Ratih tetap ikut... Akhirnya ikut menghembuskan nafas terakhir pula ... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe..sehidup semati ya Cha. Mksh kunjungan Chacha.

      Hapus
  7. Hati saya ikut berdarah rasanya bun... Ihiks..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rika Halida, apa ini berarti bunda sudah "agak" pinter ya menulis FF, hehe... Mksh kunjungan Rika Halida ke blog bunda.

      Hapus
  8. Aduh, sedih banget Bund... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matris, sedih tapi gak sampe nangis, kan? Mksh ya kunjungan Matris ke blog bunda.

      Hapus
  9. Bunda.. ceritanya tragis banget.. hikss merinding saya..
    Bun, mau tanya, pd awal cerita itu kan Budhe sebagai pencerita ya.. tapi kok pas di kalimat "Cepat ia menyeka butiran bening yang jatuh dari kelopak matanya. Direngkuhnya Ratih. Erat." Budhe = ia atau Ia = Ratih. Kalo budhe = ia berarti penceritanya langsung ganti dan itulah yg bikin saya sempet bingung. Yang jadi penceritanya berubah2.. mungkin nih ya Bun.. maaf kepanjangan komennya.. kalo semisal yg jadi pencerita sampai mereka jatuh tetep Budhe gimana Bun?

    FF Bunda Yati semakin kesini semakin menghanyutkan pikiran saya dalam imaji yg Bunda beri..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Anakku Riski Fitriasari yang pinter dan kritis ini telah memberikan masukan yang sangat berarti. Makasih ya. Sudah bunda "edit" bagian kalimat yang menjadikan Riski bingung: " Cepat kuseka butiran bening yang jatuh dari kelopak mataku. Kurengkuh Ratih. Erat.

      Makasih untuk kritik yang membangun dan kunjungan Riski ke blog bunda.

      Hapus
  10. Balasan
    1. Begitulah ide yang tergores dari pikiran bunda. Mksh kunjungan Lidya ke blog bunda.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu