Usia Berapa Anak Tidak Perlu Lagi Dinasihati? -- (Tantangan Seri 3, Hari ke-3)

Happines is always there.
Dulu, ketika Bunda baru mengenal dunia maya, tahun 2009, ada untaian baris-baris kalimat yang sangat menggugah hati siapapun yang membacanya. Dan entah siapa pengarangnya, karena tulisan yang indah itu tidak bernama. Dan entah kapan untuk pertama kalinya orang menemukan dan mengunggahnya ke dunia online. Bunda hanya mendapat kiriman dan tidak ada salahnya Bunda pun menyimpannya sebagai kata-kata keramat. Berikut adalah cuplikan beberapa baris yang Bunda torehkan. Pastinya, setelah membaca dan merenungi, Bunda yakin banyak blogger yang pernah membacanya dan bahkan mengingat judulnya. Oke? Ini dia:.


Disaat aku bingung menghadapi hal-hal dan teknologi, 
janganlah menertawai aku, ajari aku dengan kasih...

seperti aku menjawab semua "Mengapa" yang pernah 
kau tanyakan kepadaku.
 

Wajar kalau kemudian sebuah pertanyaan akan muncul. Kenapa? Ya, kenapa Bunda mau mengangkat kalimat itu sekarang setelah sekian lama. Ada alasannya? Pasti..

Seorang ibu, sebut saja Ibu Lonely datang dengan berurai airmata menceritakan tentang nasibnya yang diperlakukan oleh anak kandungnya, seolah dirinya tidak pernah ada. Miris. Bunda terkejut mendengarnya.

Kini Bunda ingin bertanya melalui postingan ini, kira-kira sampai usia berapakah seorang anak itu patut, Bunda ulangi, patut, untuk mendengar nasihat atau masukan dari orangtua mereka, terutama dari seorang ibu. Kejadian yang menimpa diri seorang teman Bunda, sebut saja Ibu Lonely, membawa hati Bunda ikut prihatin dan terinspirasi untuk menulis postingan ini.
   
Ibu Lonely memiliki anak empat orang, dua laki-laki dan dua perempuan, Yang nomor 2 dan nomor 3 sudah berpenghasilan, yang paling kecil masih duduk di kelas 2 Sekolah Menengah Pertama. Sedangkan yang nomor 1, seorang anak perempuan pergi meninggalkan rumah, tanpa berita, setelah mengutarakan ingin menikah dengan lelaki pujaannya yang belum berpenghasilan. Nasihat Ibu Lonely ini sangat masuk akal, anak perempuannya belum lama mengenal sang lelaki, komunikasi antar mereka juga tidak terlalu intens. Nah, setelah kejadian itu, kaburlah Sang Bidadari (biarkan Bunda menyebutnya Sang Bidadari, karena bidadari kan bisa terbang, hehehe...) bersama Bidadaranya. Kabur, entah kemana. Semula masih ada komunikasi antar orangtua dan Sang Bidadari, namun kemudian komunikasi itu terputus begitu saja.

Hari berganti bulan, bulan pun menyusul mengambil posisi menjadi tahun, tidak pernah ada berita dari Sang Bidadari. Tentu saja hal ini menjadikan Ibu Lonely, yang semula tidak peduli pada ketidakberadaan Sang Bidadari, menjadi akhirnya peduli. Kenapa? Kabar burung beredar kalau Sang Bidadari sudah hidup satu rumah dengan Sang Bidadara, hehe... (Ini kejadian bener, lho! Bukan non-fiksi.)
 
Ibu Lonely yang single fighter and single parent ini tentu saja menjadi panas kedua telinganya dan terbakar hatinya. Disusullah ke alamat yang Ibu Lonely dapatkan dari seseorang yang seringkali melihat kedua sejoli ini hidup dalam satu rumah. Dia mengira mereka sudah menjadi pasangan suami isteri. Dan si Ibu pembawa berita ini pun memusuhi Ibu Lonely, karena tidak mengundangnya ke acara pernikahan Sang Bidadari. Ibu Lonely hanya sanggup mengucapkan maaf, padahal jangankan mengundang orang lain, Ibu Lonely sendiri, yang melahirkan Sang Bidadari pun tidak pernah tahu bahwa Sang Bidadari telah hidup dibawah satu atap dengan seorang lelaki pilihannya. Entah dalam ikatan apa.
   
Disusullah ke alamat yang Ibu Lonely dapat dari si pembawa berita. Betul alias benar di alamat itu ada dua sejoli. Sang Bidadara dengan sikap cuek-bebeknya seolah tidak melihat kedatangan Ibu Lonely. Sang Bidadari langsung menggeret Ibu Lonely ke dalam rumahnya, kemudian Sang Bidadari memperlihatkan mimik ketakutan dan meletakkan jari telunjuk di bibirnya, seolah menyuruh Ibu Lonely untuk diam dan jangan berulah.
  
 "Sssstt..." katanya. "Nanti tetangga pada tau nih! Aku sudah besar. Aku tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Semua tindakanku adalah tanggung jawabku!" Sang Bidadari menahan dengan kuat alun suaranya.

Mudah-mudahan tidak ada yang seperti ini terhadap Ibu-Ibu Anda (Gb. bersosial.com)
 O-ya, rumah yang ditempati oleh Sang Bidadari adalah rumah petakan yang berderet memanjang kesamping, layaknya "bedeng" untuk para pekerja kasar.

  
Ibu Lonely: "Pulanglah kau. Tak pantas dalam agama yang kita anut hidup satu atap dengan orang yang belum menjadi muhrim-mu.. Kalau kau mau menikah, laksanakanlah dengan cara yang baik."


"Mama pulang aja, pulang, pulaaang..." Sang Bidadari berucap dengan jerit tertahan. Ibu Lonely menampar pipi Sang Bidadari kemudian keluar meninggalkannya, melewati Sang Bidadara yang seolah tak peduli, layaknya ia lelaki tuna-runggu dan tuna netra atau apalah namanya.

  
Patahlah hati Ibu Lonely ini. Sejak saat itu Ibu Lonely tidak pernah lagi menghubungi Sang Bidadari. Ibu Lonely hidup dengan kekuatannya mencari nafkah mengambil upah menyeterika pakaian. Kedua anaknya yang telah berpenghasilan mendukungnya dengan penuh tanggung-jawab. Kebencian yang amat sangat sudah merasuki hati dan jiwa kedua adik Sang Bidadari. Keduanya tidak rela Ibu Lonely diperlakukan seperti itu.

  
"Memang dia lahir dari mana? Dari batu?" hanya itu komentar mereka berdua. Ibu Lonely hanya menyabarkan mereka.

  
Anak kedua dan ketiga membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dan uang sekolah sang adik. Keduanya sudah tidak peduli lagi akan ketidak-beradaan kakak mereka. Seolah tertoreh hati mereka dengan pisau yang paling tajam, setelah mendengar apa yang diceritakan oleh Ibu Lonely tentang usahanya membawa Sang Bidadari pulang..

  
Sebetulnya menurut para blogger yang mampir ke blog Bunda ini, sampai usia berapakah seorang anak itu wajib mendengarkan nasihat dan masukan dari seorang Ibu?  Apakah memang pada usia tigapuluhtahun sudah tidak perlu lagi nasihat dari orangtua untuk hal-hal dalam hidup ini, walaupun itu merupakan sesuatu yang salah menurut katacama seorang ibu dan sebagai Umat Nabi Besar SAW??

Perkenankanlah Bunda memberikan sedikit masukan agar mereka yang masih memiliki Ibu, perlakukanlah Ibu dengan sebaik yang kau mampu. Jagalah hatinya. Karena menyenangkan hati seorang itu itu adalah sebuah berkah jua adanya. Percayalah. Bunda seperti dengan segala energi yang Bunda miliki, semua itu Bunda dapatkan dari kasih sayang anak-anak Bunda. Bukan kemewahan yang diminta oleh seorang ibu, tapi kebahagiaan bathin memiliki kasih sayang yang tulus, sebagaimana kasih ibu yang selalu bersemi dengan subur dan penuh kecintaan. 


Komentar

  1. Menurut saya ketika anak masih belum dewasa kita sebagai orang tua Proaktif tetapi setelah mereka mandiri dan berkeluarga kita sebagai orang tua propasif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...propasif? Walaupun sang Ibu tahu kalo itu adalah tindakan yang melanggar agama? Makasih untuk komentarnya dan makasih juga kunjungan Kang Jumanta ke blog Bunda. Melalui postingan ini Bunda sambil mengadakan, semacam angket tentang judul postingan Bunda, berkaitan dengan isi postingan Bunda.

      Hapus
  2. Duh, Bundaa, ceritanya sedih ya :'(
    Kalau menurut saya sih, sampai kapanpun nasehat orangtua itu msih patut didengar. Karena itulah salah satu bukti perhatian dan kasih sayang dari anak. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Istiana Sutanti, Bunda juga sependapat dengan Istiana bahwa sebesar pun usia seorang anak, walau sudah tua sekalipun, hendaknya mendengarkan masukan yang baik dari seorang ibu. Makasih kunjungan Is ke blog Bunda.

      Hapus
  3. Sampai akhir hayatnya.
    Ada sebuah cerita
    Bapak : "Nak, ingat nasehat bapak yang selama ini kau dapat. Sepertinya bapakmu tidak dapat menasehatimu lagi."
    Anak : "Bapak! Jangan tinggalkan Fulan pak!" (nangis)
    Dan akhirnya si bapak menghembuskan napas untuk terakhir kalinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seorang anak yang berbakti pada ortu, pastinya akan mendengarkan nasehat ortu sampai kapanpun, setidaknya menghargai dan merenungkannya. lMakasih kunjungan Anjar Adityatsu ke blog Bunda, maaf Bunda baru sekarang meresponnya.

      Hapus
  4. Menurut saya, orangtua harus selalu menasihati anak ketika anak keluar dari trek yang akan membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain, Bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini dia yang Bukda maksud. Berarti tidak ada salahnya, bahkan seharusnya seorang mendengarkan nasehat ortu, karena biasanya kuman di seberang lautan bisa dia lihat, tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Feeling ortu itu sangat kuat, iya, kan Nancy Duma? Maaf ya for the belated reply. Makasih kunjungan Nancy ke blog Bunda.

      Hapus
  5. Cerita yang menggugah, terima kasih Bunda. Ada sesuatu disana yang membuat sedih, terharu, dan melow hahha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita yang rada-rada mellow ini akan Bunda masukkan ke dalam KumCer kali, ya? hahaha... Sama-sama, Azis Nizar, kunjungan ke blog Bunda yang bikin Bunda merasa kalo postingan Bunda ini menarik, hehe...jadi GeeT.

      Hapus
  6. biasanya naluri orang tua
    tau sendiri kapan anaknya masih perlu dinasehati atau tidak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru itu Hoshi Nee, ortu dalam cerita Bunda ini sangat kasihan sekali, karena begitu kuat nalurinya sebagai ortu, tapi sang anak tetap juga keras kepala. Hallah, cerita nyata yang bisa dibawa ke cerpen nih. Iya, kan? Ide buat Bunda untuk memasukkan ke dalam kumpulan cerpen nanti. Makasih kunjungan Hoshi Nee ke blog Bunda..

      Hapus
  7. Thank for good post and sharing.... aTube Catcher mega MecaNet

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu