Gulai Nangka Masakanku Selezat Buatan Ibu

#CerpenKuliner #TTG4


"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyaku.

Akhirnya lidahku tidak bisa kutahan untuk bertanya. Sejak kehadirannya di meja makan ini, sudah kira-kira sepuluh menit Tarni hanya memandangi saja gulai kesukaannya. Aku berdiri di belakang kursi yang diduduki Tarni. Aku pegang kedua belah bahunya. Aku remas perlahan penuh rasa sayang.Telah lama aku sadar. Aku adalah pengganti Ibu untuk adik-adikku. Sifat Ibu yang penuh kasih sayang akhirnya mengalir juga dalam darahku, menghayutkan segala rasa buruk yang kusimpan dalam hati.


"Kau pasti sedang membayangkan wajah Ibu, kan?" tuduhku sambil menyeret kursi dan duduk bersebelahan dengan Tarni. Dekat sekali. Aku betulkan anak-anak rambut yang berjuntai di keningnya.

"Kau cantik, Tarni," batinku memuji.



"Wajar saja kalau Ibu sangat menyayangimu. Kau cantik. Pintar. Kau pun tidak sombong. Tidak seperti aku. Arogan, cuek, berjerawat pula dan sukar untuk menerima pendapat orang lain. Itulah alasan kuatku melarangmu pulang ketika Ibu meninggal dunia. Aku tidak ikhlas orang-orang memujimu di depanku dan di hadapan jenazah Ibu. Maafkan aku, Tarni. Aku memang jahat. Namun waktu tiga tahun sejak Ibu meninggal ada hikmah yang aku dapat dari segala kelakuanku yang buruk dan rasa iri terhadapmu. Kau memiliki semua sifat Ibu. Baik hati. Sabar. Penuh kepedulian kepada siapa saja. Aku iri padamu. Dulu. Tapi sudah lama aku sangat merindukanmu," aku terus membatin.



Seolah mengerti kata hatiku, Tarni menggenggam tanganku. Ditatapnya aku lekat-lekat.

"Ibu menyayangi kita semua. Tak ada perbedaan. Akupun menyayangimu, Kak. Kakak adalah Ibu bagiku, kini." Suara Tarni meyakinkan keraguanku. Senyumnya adalah senyum Ibu. Aku jadi malu pada diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku bisa menyimpan perasaan itu. Rasa iri yang menggunung kepada adik kandungku sendiri. Selama  itu selalu saja ada perasaan yang mengganjal. Apalagi Ibu selalu memaksaku untuk belajar memasak gulai nangka kesukaan Tarni. Harus lezat seperti buatan Ibu. Dan aku berhasil menyajikannya untuk Tarni di hari ulang tahunnya. Hari ini.


"Wangi rempah khas yang selalu  Ibu masukkan ke dalam gulai nangka kesukaanku ini, apa ya Kak,? Aku lupa namanya."

"Rempah yang bentuknya seperti bintang itu maksudmu? Ibu menyebutnya pekak?" sahutku

"Hhmmm, harumnya..." Tarni mengangkat kedua belah alisnya yang indah dan mengedipkan matanya ke arahku. Disendoknya sedikit kuah gulai nangka yang terhidang, dicicipi dan lagi-lagi ia mengerjapkan matanya ke arahku.

Dengan sigap Tarni membalikkan piring-piring yang masih tertelengkup di atas meja. Untukku dan untuknya.

"Ayo, Kak, temani aku makan. Aku akan menguji cita-rasa gulai nangka masakan Kakak dengan gulai nangka buatan Ibu.", Suara Tarni yang kini berubah menjadi ceria membuat aku tergagap seketika.



Kami hanyut dalam menikmati santap siang sambil berbincang ringan. Berdua saja. Karena hujan yang turun dengan derasnya sejak dini hari menyebabkan empat orang adik-adikku dan keluarga kecilnya tidak bisa datang.

"Cobalah kau nilai, Tarni, mana yang lebih lezat. Masakanku, atau buatan Ibu," aku tak mau kalah menghadirkan suasana yang bergairah menghapus kesenduan yang semula hampir bergayut.

"Hhmm....kalau aku katakan buatan Ibu lebih lezat, berarti Ibu tidak berhasil menurunkan ilmunya kepada Kakak," Tarni mengayunkan sendok penuh dengan gulai nangka di udara seolah itu sebuah perahu-perahuan dengan penumpangnya. Kemudian mendaratkan di mulut mungilnya. KepalaTarni ter-angguk-angguk. Bibirnya mengeluarkan decak. Matanya berputar. Melihat kearahku lagi. Dengan gerak cekatan seperti terburu-buru Tarni menyendokkan nasi ke piringku. Tarni tak henti-hentinya tersenyum.

"Sama persis lezatnya dengan gulai nangka buatan Ibu." Tarni meluruskan lengan kanannya dan mengacungkan jempolnya ke arahku.

"Yummy!" 

Aku menghela napas. Lega rasanya bisa menghidangkan gulai nangka kesukaan Tarni. Tiga tahun di rantau orang  menuntut ilmu bukanlah waktu yang sebentar. Anugerah bea siswa dari universitas tempat Tarni kuliah tidak boleh di-sia-siakan. Ketika itu aku merasakan seperti bisa bernapas lega. Tiga tahun aku akan menjadi orang yang paling dekat dengan Ibu. Tidak ada lagi yang menyaingi.


"Yang betul?" tanyaku berpura-pura tidak percaya. Padahal aku yakin sekali rasanya memang lezat, selezat gulai nangka buatan Ibu. Setiap kali aku membuat gulai nangka, aku tahu dengan pasti, hasil masakanku semakin  hari semakin meyakinkan. Mantap dan lezatnya sudah seperti buatan Ibu. Sejalan dengan kemajuan dan kemahiranku memasak gulai nangka, rasa ke-ibu-anku muncul perlahan.  Resep yang diturunkan oleh Ibu tercinta ini benar-benar yahud dan membawa hikmah. Mampu menjadikannya sebuah mukjizat bagi diriku. Aku berkreasi dengan gulai nangka hasil dari resep warisan Ibu ini dengan menambahkan tetelan daging sapi. Alhasil bertambahlah kelezatannya. Ternyata, Tarni sangat menyukainya

"Biarkan semua yang ada di meja ini," kataku seselesainya kami bersantap siang.

"Yuk, kita santai di ruang keluarga, mengenang Ibu," sambungku.

Tarni bangkit dan menggamit lenganku. Kami berjalan bergandengan ke ruang tamu. Melemparkan diri ke atas sofa merah ber-bunga-bunga. Sofa kesayangan Ibu.



"Kak, ceritakan bagaimana sampai Kakak bisa menyamai masakan gulai nangka buatan Ibu itu." Suara Tarni serius dengan nada memohon. Tarni menyandarkan kepalanya dan menjulurkan kakinya jauh ke depan.

"Ayo, Kak, ceritakan!" Pintanya lagi.

"Sepeninggalmu ke luar negeri, Ibu selalu bersedih.  Aku iba melihat Ibu dalam keadaan kehilangan semangat seperti itu. Tapi aku tidak kehilangan akal. Aku tahu apa yang akan membangkitkan semangat Ibu menggebu."

"Apa itu, Kak?" Tarni seperti tidak sabar menanti lanjutan ceritaku. Tangannya mengambil sebuah album dari bawah meja.  Diletakkan di pangkuannya.

"Apa lagi? Satu-satunya jalan aku mengajak Ibu ke pasar. Belanja bahan-bahan untuk memasak gulai nangka. Setelah semua belanjaan lengkap, maka tak seorang pun yang dibolehkan membantu  Tidak juga aku, kakakmu ini yang memberi Ibu inisiatip untuk belanja.  Ibu akan mengolah dan menyelesaikan masakannya. Sendirian. Tapi tak apa. Yang penting Ibu bersemangat memasak gulai nangka kesukaanmu. Seolah kau ada di rumah ini. Setelah selesai,  Ibu akan duduk di sofa ini. Sama sepertimu, mengambil  sebuah album yang penuh dengan foto-fotomu bersama Ibu sebelum kau berangkat ke luar negeri."

Walaupun kelihatannya Tarni tidak acuh, namun aku tahu Tarni sedang mendengarkan ceritaku sepenuh perhatian.

 "Aku berhasil memasak gulai nangka dengan resep lengkap yang aku simpan. Sudah lusuh kertas itu. Tapi masih bisa aku baca dengan jelas. Betapa tidak. Kertas itu sudah aku simpan lebih dari tiga tahun dalam dompetku. Ya, dalam dompetku yang selalu aku bawa ke manapun aku pergi. Dompet itu sudah terlihat membengkak dengan lembar-lembar kertas kecil berisi catatan resep masakan lain dari Ibu. Kulit dompetnya pun sebagian sudah terkelupas di sana sini. Tapi aku tak peduli. Dompet itu hadiah dari Ibu. Ibu yang pandai memasak. Ibu yang sangat menyayangi kita. Walaupun kau sedang jauh, nun di sana, menuntut ilmu, tetap Ibu selalu menyediakan piring di meja makan. Untukmu, kata Ibu."

Tarni beringsut duduknya dan mendekat padaku. Disandarkannya kini kepalanya di bahuku.

"Betulkah itu, Kak. Sedemikian Ibu merasa kehilangan aku?"

Aku hanya bisa mengangguk. Kini tanganku merangkul kepala Tarni.

"Tahukah kau apa yang terjadi setelah Ibu tidak ada? Tarni menolehkan kepalanya. Matanya penuh dengan keingintahuan.

"Aku, kakakmu ini, tidak lagi menjadi seorang yang arogan, egois, dan entah apa lagi. Sifat keibuanku muncul. Aku jadi rajin bersilaturakhim ke tempat kakak-kakakmu. Hampir setiap minggu aku selalu menjenguk mereka dengan membawakan gulai nangka resep Ibu. Keluarga kecil mereka juga sama seperti kita. Sangat kehilangan Ibu. Namun, mereka sudah memiliki keluarga yang harus mendapat curahan perhatian utama. Hidup harus berlanjut. Dan hanya do'a untuk Ibu yang harus kita panjatkan. Bukan kesedihan yang ber-larut-larut. Kini kau telah kembali. Kita akan menghidupkan rumah ini agar tetap bersinar seperti ketika Ibu masih ada. Foto Ibu yang besar di ruangan ini tidak boleh dipindahkan."

Di bahuku, Tarni mengusap airmata dengan punggung tangannya. Tarni meraih lenganku. Dipeluknya lenganku seperti Tarni melakukannya kepada Ibu.

"Alhamdulillah." Ucapku.

"Kakak tahu Ibu sangat menyayangi aku lebih daripada yang lain. Kenapa sebegitu keras kakak melarangku pulang saat Ibu meninggal?" Tiba-tiba Tarni mengajukan tanya yang sulit aku jawab.

Tidak mungkin rasanya aku menjawab tanya itu dengan alasan yang sebenar-benarnya bersarang di dadaku. Aku tidak menginginkan saingan di rumah ini. Tapi itu dulu. Kini aku sudah menjadi pribadi lain yang penuh pengertian dan kasih sayang.

"Dengarkan aku, adik cantik kesayangan Ibu..." rayuku.

"Tidak seorangpun yang tahu kepergianmu ke luar negeri menyebabkan Ibu jatuh sakit dan berakhir dengan kepergian Ibu untuk selamanya meninggalkan kita. Aku pun tahu, kau juga sangat terpukul. Kita harus berpikir positip.  Kesempatan mendapatkan bea siswa adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Kau tidak boleh mengecewakan Universitas yang telah memberimu bea siswa. Kepulanganmu akan memakan biaya yang sangat besar. Yang pergi biarlah pergi menghadapNya. Kau harus menempa ketabahan dan kegigihanmu di sana. Sebuah kesempatan yang tidak akan datang dua kali dalam hidup ini"

Akhirnya...aku mampu mengucapkan alasan tulus yang seharusnya aku ungkapkan tiga tahun yang lalu.

Komentar

  1. Balasan
    1. Alhamdulillah, ya, si AKU bisa berubah drastis setelah Ibu meninggal. Makasih kunjungan Adi Pradana ke blog Bunda.

      Hapus
  2. Ternyata gulai nangka bisa mempererat tali silaturahmi..mari brlajr masak
    \(^o^)/

    BalasHapus
    Balasan
    1. zefy arlinda, bukan cuma gulai nangka lho, masakan apa saja, yang kita bikin/kita masak kemudian kita bagikan sedikit kepada tetangga, juga merupakan silaturakhim. Makasih ya kunjungan zefi ke blog Bunda.

      Hapus
    2. zefy arlinda, bukan cuma gulai nangka lho, masakan apa saja, yang kita bikin/kita masak kemudian kita bagikan sedikit kepada tetangga, juga merupakan silaturakhim. Makasih ya kunjungan zefi ke blog Bunda.

      Hapus
  3. Emak saya kalau masak gulai nangka pasti sepanci besar terus dikasih ke tetangga ama mertua. Tapi sepertinya bumbunya tak selengkap masakan bunda ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...Tarry KittyHolic, memang dalam membuat gulai nangka atau gulai kambing Bunda gak pernah lupa menambahkan pekak dan beberapa rempah lain. Makasih kunjungan Tarry ke blog Bunda. Kangeen.

      Hapus
  4. 'Jangan Tewel' memang makanan sejuta umat :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...Jangan itu artinya sayur, ya? Tewel itu nangka. Kosakata baru. Bagi orang Sumatera Barat memang gulai nangka ini sudah menjadi makanan favorit. Makasih kunjungan Mimi ke blog Bunda.

      Hapus
  5. kapan-kapan aku mau ya nyipi gulai nangkanya bun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe...kapan-kapan, ya, kalau bertandang ke rumah Bunda, tapi ya kudu sms dulu. Makasih kunjungan Lidya ke blog Bunda.

      Hapus
  6. Balasan
    1. Ya, nggak-lah, kan cuman yang harus diperhatiin tuh Tarni dank, yang lain kan udah ada suaminya masng-masing yang harus bertanggung-jawab. Ya nggak seeh...? Makasih kunjungan Mbahe Ariel neng blog Bunda. Sopo toh jenenge Mbahe Ariel iki? hehe...

      Hapus
  7. berharap,,,,ada resep gulai nangkanya..he2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti ya, kalo Bunda lagi bikin gulai nangka, Bunda jabakan bahan-bahannya, hehe...Makasih kunjungan Nova ke blog Bunda

      Hapus
  8. Gulai nangka special bisa membuat hubungan kembali harmonis, suka dengan ide ceritanya Bunda, keren :)

    BalasHapus
  9. Hehe...alhamdulillah ide yang tiba-tiba aja datang menyapa setelah berkunjung ke blognya Faizin Bersama sebagai kunjungan balik. Nah, di situ Bunda temui untaian kata-kata yang sangat menyengat, dan pada hari dan tanggal yang sama pun Bunda mencoba untuk membuat draft nerpen ini. Kemudian sehari semalam Bunda biarkan, dan keesokan harinya Bunda baca dan poles kembali, alhasilnya...tradaa...cerpen di atas itu. Terima kasih Awan udah suka ide cerita Bunda. Terima kasih juga buat 'keren'nya, hehe... Makasih yang kesekian kali untuk kunjungan Awan.

    BalasHapus
  10. Gwaaahhh cerpennya bunda Yati keren sekaliiii.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mksh kunjungan Maya ke blog Bunda. Mksh jg buat "keren"nya.

      Hapus
  11. Bunda, 😘 selalu suka. Jadi punya ide buat bikin cerpenku sendiri. Makasih bunda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. phalupi, ayo bikin nanti Bunda kasih komentar, hehe... Mksh kunjunga phi.

      Hapus
  12. Melihat dan membaca cerita tentang gulai nangka ini, sudah terbayang aroma dan rasanya, Bunda. Aaah, jadi rindu gulai nangka Mamaku. Btw, cerpennya keren. ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah udah bs nimbulin rindu ke Mama. Wah, bangga jg dibilang keren sm Wiwiek nih. Berarti Bunda dah ada kemajuan ya dlm menulis nih.Mksh buat pujian dan kunjungan Wiwiek.

      Hapus
  13. Aku suka gulai nangka, bun

    Bun..cerpennya indah banget.

    BalasHapus
  14. cerpen khas Bunda Yati, selalu menyentuh sisi kewanitaan :)

    BalasHapus
  15. Wah, jadi ingin makan gulai nangka juga, penggambaran dalam cerpennya cukup kuat, benar-benar tergambar citarasanya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu