Kuliah Gratis
Gbr.ask.fm |
Pada saat sekali-sekali kumpul dan bernostalgia bersama teman-teman lama semasa kuliah, aku selalu siap di bully
oleh mereka. Mereka menganggap aku tidak melanjutkan kuliahku karena takut jadi pintar. Hehe...jadi pinter koq takut sih.
Ada-ada aja mereka itu. Padahal alasan yang sebenarnya karena ketiadaan
biaya. Dulu pun aku kuliah gratis, dibayarin kantor,karena aku
bersahabat erat dengan Sekretaris Senior di kantor itu yang sedang "dekat"
dengan sang PresDir. Si cantik mendapat tawaran untuk kuliah bahasa Inggris, maka terbawalah aku bersamanya untuk kuliah.
Tanpaku dia beneran gak mau menggunakan kesempatan yang ditawarkan oleh
Sang PresDir pujaan hatinya. "Bodoh kali, kau!" Serapahku. "Ambil aja,
kesempatan gak akan datang dua kali" kataku saat itu.
Kami kuliah di Akademi bahasa Asing, Jurusan Penerjemah/Jurubahasa Bahasa Inggris, berlokasi di Jalan Lombok, Jakarta Pusat. Aku merasa seperti orang penting berdamping dengan Sekretaris PresDir itu. Pergi kuliah mendapat fasilitas mobil sedan bagus, pulang juga diantar sampai rumah. Alangkah senangnya kalau ini bisa berjalan terus. begitu pikirku.
Aku menggantungkan harapan terlalu tinggi, ternyata sang Sekretaris cantik itu kewalahan mengikuti kuliah. Ia menyerah dan tak mau lagi kuliah. Fasilitas pun tidak lagi ada buatku. Sekuat aku membujuknya agar tetap kuliah tetap saja dia menggeleng. "Gak kuat, gue!" bisiknya, "Gue udah telat" Ya, ampuun... ternyata si Cantik ini sudah dipersunting Sang PresDir secara diam-diam dan tinggal menunggu saatnya berhenti bekerja. Pupuslah sudah harapanku untuk bisa duduk di jok mobil sedan bagus dan ber-AC itu.
Bagaimana denganku? Ya, terpaksalah aku berjuang sendiri, dengan biaya sendiri naik turun bis sendiri, dari kantor Gaya Motor di Jalan Sulawesi, Tanjung Priok, langsung kuliah sore hari ke Jalan Lombok, Menteng, Jakarta Pusat. Pulang kuliah malam hari, kembali terpaksa menikmati malam di atas kendaraan umum yang padat dan pengap. Sampai rumah badan sudah letih, lemah, dan lesu. Namun demi menuntut ilmu melalui kuliah gratis -- karena uang kuliah tetap dibayar oleh kantor, tanpa fasilitas transport. Gajiku yang masih aku ingat waktu itu, tahun 1962 hanya Empat Ribu Rupiah, mana cukup? Mau minta ke kantor? Yeee...malu-lah! Kan fasilitas kuliah udah dikasih dan tetap berjalan, masa sih uang transport juga minta dari kantor hehe... Udah untung di gratisin uang kuliah....#untungterus.
Tapi, semakin tinggi harapanku untuk tetap kuliah, semakin sulit aku mengatur napasku untuk tetap berjuang melewati jalan-jalan di malam hari di atas bis yang tetap saja masih penuh sesak dan sumpek. Jarak Jalan Lombok, Jakarta Pusat -- rumahku di Kebayoran Baru, jauhnya bukan main.
Rupanya Allah tidak mengizinkan aku untuk bersusah payah mengejar kendaraan karena suatu saat aku terjatuh terjerembab, tapi badan masih segar, lari masih lincah seperti kelinci, qiqiqiii, aku tetap bisa mengejar bis yang mulai laju meninggalkan aku. Tangan kondektur terulur menyambutku, daaaan...huuup...grabbed his hand very tightly...LOL...sampai juga aku di dalam bis, tetap saja berdiri, hehe....Jatuh bangun aku mengejarmu...#nyanyidalamhatimenghiburdiri.
Keadaan seperti ini hanya bertahan selama dua tahun, selebihnya aku menyerah, bukan karena mata kuliahnya yang bikin aku mengundurkan diri, tapi karena aku tidak sanggup berperang melawan kesulitan transport setiap hari kerja. Sebenarnya aku sangat senang mengikuti pelajaran dengan mata kuliah penerjemah dan Jurubahasa, senang sekali -- mungkin kalau saja aku bisa berkaca -- mataku berbinar mengikuti mata kuliah translator utamanya dengan dosen berkebangsaan Belanda yang masih aku ingat kegantengannya. Ya, ya, ya...mengingat masa lalu memang menyenangkan walaupun ada kesulitan yang harus dihadapi. Namun sensasinya tak tergantikan.
Ketika malam mulai menjelang dan ide lain yang bersliweran belum ketangkep, hehehe...
Sumber gbr. gambarfoto.co |
Aku menggantungkan harapan terlalu tinggi, ternyata sang Sekretaris cantik itu kewalahan mengikuti kuliah. Ia menyerah dan tak mau lagi kuliah. Fasilitas pun tidak lagi ada buatku. Sekuat aku membujuknya agar tetap kuliah tetap saja dia menggeleng. "Gak kuat, gue!" bisiknya, "Gue udah telat" Ya, ampuun... ternyata si Cantik ini sudah dipersunting Sang PresDir secara diam-diam dan tinggal menunggu saatnya berhenti bekerja. Pupuslah sudah harapanku untuk bisa duduk di jok mobil sedan bagus dan ber-AC itu.
Bagaimana denganku? Ya, terpaksalah aku berjuang sendiri, dengan biaya sendiri naik turun bis sendiri, dari kantor Gaya Motor di Jalan Sulawesi, Tanjung Priok, langsung kuliah sore hari ke Jalan Lombok, Menteng, Jakarta Pusat. Pulang kuliah malam hari, kembali terpaksa menikmati malam di atas kendaraan umum yang padat dan pengap. Sampai rumah badan sudah letih, lemah, dan lesu. Namun demi menuntut ilmu melalui kuliah gratis -- karena uang kuliah tetap dibayar oleh kantor, tanpa fasilitas transport. Gajiku yang masih aku ingat waktu itu, tahun 1962 hanya Empat Ribu Rupiah, mana cukup? Mau minta ke kantor? Yeee...malu-lah! Kan fasilitas kuliah udah dikasih dan tetap berjalan, masa sih uang transport juga minta dari kantor hehe... Udah untung di gratisin uang kuliah....#untungterus.
Tapi, semakin tinggi harapanku untuk tetap kuliah, semakin sulit aku mengatur napasku untuk tetap berjuang melewati jalan-jalan di malam hari di atas bis yang tetap saja masih penuh sesak dan sumpek. Jarak Jalan Lombok, Jakarta Pusat -- rumahku di Kebayoran Baru, jauhnya bukan main.
Rupanya Allah tidak mengizinkan aku untuk bersusah payah mengejar kendaraan karena suatu saat aku terjatuh terjerembab, tapi badan masih segar, lari masih lincah seperti kelinci, qiqiqiii, aku tetap bisa mengejar bis yang mulai laju meninggalkan aku. Tangan kondektur terulur menyambutku, daaaan...huuup...grabbed his hand very tightly...LOL...sampai juga aku di dalam bis, tetap saja berdiri, hehe....Jatuh bangun aku mengejarmu...#nyanyidalamhatimenghiburdiri.
Sumber gbr.bola.liputan6.com |
Keadaan seperti ini hanya bertahan selama dua tahun, selebihnya aku menyerah, bukan karena mata kuliahnya yang bikin aku mengundurkan diri, tapi karena aku tidak sanggup berperang melawan kesulitan transport setiap hari kerja. Sebenarnya aku sangat senang mengikuti pelajaran dengan mata kuliah penerjemah dan Jurubahasa, senang sekali -- mungkin kalau saja aku bisa berkaca -- mataku berbinar mengikuti mata kuliah translator utamanya dengan dosen berkebangsaan Belanda yang masih aku ingat kegantengannya. Ya, ya, ya...mengingat masa lalu memang menyenangkan walaupun ada kesulitan yang harus dihadapi. Namun sensasinya tak tergantikan.
Ketika malam mulai menjelang dan ide lain yang bersliweran belum ketangkep, hehehe...
Meninggalkan jejak dari dalam busway, nih, Bun. Betapa masa2 sulit itu kini indah dan patut dikagumi, Bund. Salut sama semangat juang Bunda. Etapi, akhirnya menyerah juga, Bund?
BalasHapusHi, Al, seneng liat nama Al terpampang di sini Dah lama juga ya kita gak ketemu. Iya tuh, terpaksa menyerah karena kondisi kocek waktu itu. Kalo sekarang (ada lorong waktu, hehe...) pasti dijabanin, gimana juga. Makasih kunjungan Al ke blog bunda.
HapusPengalaman itu memang sekolah yang baik ya, bunda. Sayang uang sekolahnya mahal hehehe. Kadang jarus dibayar dengan keringat, darah dan airmata *aihhhh...
BalasHapusTapi tetap ah salut sama Bunda Yati....
Bangga juga nih ada yang udah lamaaa banget gak perna nilik-i bunda, hehe... Alhamdulillah, semangat tetap ada. Makasih Donna udah berkunjung ke blog bunda.
HapusBunda Yati emang jempolan. Dari dulu hingga sekarang tetap bersemangat menimba ilmu.
BalasHapusMakasih pujiannya, tapi mana jempolnya? hehehe...just kidding. Insya Allah, belajar apa aja yang bisa bunda pelajari dan tidak bikin ribet, pasti bunda kejar. Makasih juga kunjungan Ety ke blog bunda.
Hapus