Keprihatinan yang Membuahkan Ketegaran
ODOP ISB Hari ke-6 (Periodi 10-23 Januari 2018)
Tema:
Pernahkan melakukan hal kecil untuk orang tua / Keluarga? Namun mereka merasa senang luar biasa di luar dugaan. Apa hikmah yang dipetik dari hal tersebut
------------
(Catatan: Sengaja aku pajang foto ini, lengkap dengan Ibu, Ayah dan Nenekku. Siapa tahu ada yang buka postinganku ini dari Anak Keturunan Keluarga Nenek yang masih ada dan mengenali foto Nenek, langsung menghubungiku di kolom Komentar. Kami sudah kehilangan sumbu keluarga dari pihak Ibu. Gadis manis berkepang dua itu adalah kakak sepupuku, Keluarga dari Ayahku dan Balita mungil itu kakakku. Keduanya sudah almarhum.)
Masih melekat pekat dalam ingatanku. Seolah kejadian itu baru saja kualami. Tersaruk-saruk aku diseret Ibu untuk menghindar dari sasaran peluru yang saling berdesing membuat pekak telinga. Ibu menentengku layaknya aku ini boneka dan dengan cepat memasuki sebuah lubang. Kami terperosok terdorong oleh banyaknya orang yang juga ingin menyelamatkan diri.
Tema:
Pernahkan melakukan hal kecil untuk orang tua / Keluarga? Namun mereka merasa senang luar biasa di luar dugaan. Apa hikmah yang dipetik dari hal tersebut
------------
Sebenarnyalah Keprihatinan yang Membuahkan Ketegaran. Keprihatinan yang dialami Ibu yang melahirkan dan membesarkan serta mengasihi aku hingga usiaku 8 tahun adalah sebuah ketegaran. Keprihatinan yang menjelma menjadi kekuatanku dalam menyongsong kehidupan di masa depan.
Ibuku tercinta almarhumah, Soekarsih binti Tjokro |
Masa kecilku tidak banyak yang bisa diceritakan sehubungan
dengan peranku sebagai seorang anak. Yang tertinggal dalam pundi-pundi hatiku aku merasakan belaian ibu -- sesuatu yang tidak akan pernah aku dapatkan dari orang lain. Usia
yang sudah cukup bisa merasakan betapa besar perjuangan Ibu pada tahun-tahun pasca sebuah peperangan yang meluluh-lantahkan banyak gedung di Republik ini. Tak terpikirkan olehku, sepeninggal Ibu aku mampu menjadi pahlawan keluarga, walaupun apa yang aku berikan teramatlah kecil artinya. Namun bagi Nenek dan Kakek itu merupakan hal yang luar biasa.
Aku dipangku Ibu, dibelakang Ibu adalah Ayahku. Wanita cantik berkebaya itu Nenekku |
Masih melekat pekat dalam ingatanku. Seolah kejadian itu baru saja kualami. Tersaruk-saruk aku diseret Ibu untuk menghindar dari sasaran peluru yang saling berdesing membuat pekak telinga. Ibu menentengku layaknya aku ini boneka dan dengan cepat memasuki sebuah lubang. Kami terperosok terdorong oleh banyaknya orang yang juga ingin menyelamatkan diri.
Aku ingat sekali Ibu menaungi aku dengan tubuhnya. Ah, Ibu, betapa kau
ingin anakmu selamat dalam pelukanmu. Sebuah lubang yang ternyata mulut gua dengan beberapa jenjang galian yang tak berbentuk tangga -- hanya beberapa pijakan sebelum sampai di dasar gua -- untuk menahan diri dari tergelincir menuju ke ruangan sangat luas di bawah sana. Cahaya api obor yang dibuat seadanya menerangi ruangan luas yang gelap. Sinar yang dipancarkan dari obor pun tak kan terlihat dari luar. Namun sinar mentari menembus lubang yang dijadikan pintu masuk. Kami aman. Itulah yang kemudian aku tahu sebuah lubang perlindungan di saat perang. Aku masih ingat lokasinya, Roa Melaka, Jakarta Utara yang kini, puluhan tahun kemudian, telah menjadi sebuah perkotaan yang megah.
Kami hidup sangat berkekurangan saat itu. Aku dilahirkan
tahun 1939. Di usia 8 tahun ibu selalu mengajarkan keprihatinan dalam hidup.
Suaranya yang lembut, belaiannya yang memberikan rasa aman membuat aku dengan
mudah terlelap dalam mimpi. Lupa, kami hanya memiliki sebuah bale-bale (tempat tidur terbuat dari bambu.) Kebersamaan dan kehangatannya membuat seolah aku sedang tidur di
sebuah tempat peraduan berkasur tebal berselimutkan beludru. Semua itu hanya semu. Tapi kasih sayang dan usapan Ibu adalah nyata. Kenyataan yang hanya bisa
aku rasakan hingga usiaku 8 tahun.
Selebihnya aku diasuh oleh Nenek dan Kakek.
Kenapa aku katakan Ibu selalu mengajarkan keprihatinan? Karena ketika itu memang hidup kami penuh keprihatinan dan ketegaran. Betapa tidak, untuk makan saja kami harus mencari beras sisa yang terserak dari truk-truk pembawa supply bahan makanan untuk mereka yang berkuasa saat itu (Belanda) Yang penting waktu itu jaman susah cari sandang pangan dan papan bagi rakyat kebanyakan dan papa. Untuk mendapatkan beras yang banyak, pikiranku selalu mengharap agar kuli-kuli bangsa sendiri itu menghantamkan "ganco"nya (ganco = besi yang dibuat seperti mata kail bergagang kayu untuk menarik sesuatu yang berat) dengan dahsyat ke karung-karung beras, sehingga beras yang terserak pun akan mengucur deras. Kuli-kuli bangsa sendiri itu masih punya hati.
Bayangkan ketika itu dapat uang dari mana untuk bisa beli beras. Yang ada, anak-anak seusiaku beramai-ramai membungkuk di kolong-kolong truk siap dengan sebuah sapu lidi kecil dan kantong kertas, tak peduli beras itu bercampur pasir dan tanah, asalkan bukan dalam genangan air kotor, habis kami sapu. Untuk melakukan hal ini tak mungkin aku membebani Nenek tugas seberat ini, bukan? Kini saatnya aku harus berbuat sesuatu untuk keluarga. Keprihatinan yang membuahkan ketegaran dan keberanian -- aku menjelma menjadi gadis kecil yang berani dalam bertindak -- berbuat sesuatu yang berarti buat keluarga kecilku.
Alih-alih sedih malah perasaan kami bisa sejenak tertawa riang bersama sambil berlomba-lomba menyapu beras yang terserak. Seberkas sinar dalam benakku menyeruak membuat hatiku gembira: "Aku bisa berarti buat keluarga karena kami bisa makan tanakan nasi Nenek dengan lahap."
Setelah itu berlari-larilah kami menuju rumah menyusuri sebuah gang kecil letaknya di Pasar Baru, bernama Gang Kelinci (hehe...seperti judul lagunya Lilis Suryani, ya?). Seolah tak ada kesusahan di benak kami. Yang ada kegembiraan bersama. Sedangkan truk-truk itu berjejer di Jalan Pos dekat kantor Berita Antara (dulu dan sekarang masih tetap Kantor Berita Antara) yang menghadap ke sungai Ciliwung, tempat rakyat kecil, mandi, mencuci segala macam (badan, baju, beras dll.) di atas getek. (rakit yang terbuat dari bambu tanpa atap). Maklum tak ada fasilitas untuk keperluan itu di rumah. (Bayangkan, disitulah kami mandi, disanalah kami mencuci pakaian, sayur-sayuran dan....BAB).#kenanganpahitmanisjamanbaheula
Aku merasa seperti seorang Srikandi bagi Nenek dan Kakek karena perjuanganku menyapu beras yang terserak. Bangganya aku karena Nenek senang dengan apa yang aku lakukan. Ibuku, nun jauh di sana tak perlu khawatir akan keadaan Nenek dan Kakek -- aku yang akan berjuang untuk mereka. Aku tak akan membiarkan mereka kelaparan. Apapun akan aku lakukan untuk menyenangkan hati Nenek dan Kakek, keluarga kecil yang aku miliki dan amat aku cintai. #sebuahnostalgia
Giliran Neneklah yang harus memilah dan memilih, memisahkan beras yang utuh, yang hancur. Menampinya dengan cara yang unik di atas tampah. Selesai tugas Nenek, langsung menanaknya dan kami melahap bersama dengan penuh kegembiraan karena hari itu kami bisa makan dengan nikmat, ditemani taburan garam penikmat lidah. Aamiin. Sebuah keprihatinan yang ditanamkan oleh Ibuku sudah meresap teramat dalam di benak -- di usiaku yang delapan tahun, paling tidak aku berguna bagi Nenek dan Kakekku. Alhamdulillah.
Kenapa aku katakan Ibu selalu mengajarkan keprihatinan? Karena ketika itu memang hidup kami penuh keprihatinan dan ketegaran. Betapa tidak, untuk makan saja kami harus mencari beras sisa yang terserak dari truk-truk pembawa supply bahan makanan untuk mereka yang berkuasa saat itu (Belanda) Yang penting waktu itu jaman susah cari sandang pangan dan papan bagi rakyat kebanyakan dan papa. Untuk mendapatkan beras yang banyak, pikiranku selalu mengharap agar kuli-kuli bangsa sendiri itu menghantamkan "ganco"nya (ganco = besi yang dibuat seperti mata kail bergagang kayu untuk menarik sesuatu yang berat) dengan dahsyat ke karung-karung beras, sehingga beras yang terserak pun akan mengucur deras. Kuli-kuli bangsa sendiri itu masih punya hati.
Bayangkan ketika itu dapat uang dari mana untuk bisa beli beras. Yang ada, anak-anak seusiaku beramai-ramai membungkuk di kolong-kolong truk siap dengan sebuah sapu lidi kecil dan kantong kertas, tak peduli beras itu bercampur pasir dan tanah, asalkan bukan dalam genangan air kotor, habis kami sapu. Untuk melakukan hal ini tak mungkin aku membebani Nenek tugas seberat ini, bukan? Kini saatnya aku harus berbuat sesuatu untuk keluarga. Keprihatinan yang membuahkan ketegaran dan keberanian -- aku menjelma menjadi gadis kecil yang berani dalam bertindak -- berbuat sesuatu yang berarti buat keluarga kecilku.
Alih-alih sedih malah perasaan kami bisa sejenak tertawa riang bersama sambil berlomba-lomba menyapu beras yang terserak. Seberkas sinar dalam benakku menyeruak membuat hatiku gembira: "Aku bisa berarti buat keluarga karena kami bisa makan tanakan nasi Nenek dengan lahap."
Setelah itu berlari-larilah kami menuju rumah menyusuri sebuah gang kecil letaknya di Pasar Baru, bernama Gang Kelinci (hehe...seperti judul lagunya Lilis Suryani, ya?). Seolah tak ada kesusahan di benak kami. Yang ada kegembiraan bersama. Sedangkan truk-truk itu berjejer di Jalan Pos dekat kantor Berita Antara (dulu dan sekarang masih tetap Kantor Berita Antara) yang menghadap ke sungai Ciliwung, tempat rakyat kecil, mandi, mencuci segala macam (badan, baju, beras dll.) di atas getek. (rakit yang terbuat dari bambu tanpa atap). Maklum tak ada fasilitas untuk keperluan itu di rumah. (Bayangkan, disitulah kami mandi, disanalah kami mencuci pakaian, sayur-sayuran dan....BAB).#kenanganpahitmanisjamanbaheula
Aku merasa seperti seorang Srikandi bagi Nenek dan Kakek karena perjuanganku menyapu beras yang terserak. Bangganya aku karena Nenek senang dengan apa yang aku lakukan. Ibuku, nun jauh di sana tak perlu khawatir akan keadaan Nenek dan Kakek -- aku yang akan berjuang untuk mereka. Aku tak akan membiarkan mereka kelaparan. Apapun akan aku lakukan untuk menyenangkan hati Nenek dan Kakek, keluarga kecil yang aku miliki dan amat aku cintai. #sebuahnostalgia
Giliran Neneklah yang harus memilah dan memilih, memisahkan beras yang utuh, yang hancur. Menampinya dengan cara yang unik di atas tampah. Selesai tugas Nenek, langsung menanaknya dan kami melahap bersama dengan penuh kegembiraan karena hari itu kami bisa makan dengan nikmat, ditemani taburan garam penikmat lidah. Aamiin. Sebuah keprihatinan yang ditanamkan oleh Ibuku sudah meresap teramat dalam di benak -- di usiaku yang delapan tahun, paling tidak aku berguna bagi Nenek dan Kakekku. Alhamdulillah.
Tentang Ibuku dalam kekalutan suasana pasca perang menerobos untuk menyeberang lautan menumpang kapal milik Belanda. Ibuku pintar berbahasa Belanda, sehingga mudah bagi Ibu untuk berkomunikasi. Tak gentar Ibu pergi dan berusaha demi menjemput ketiga anaknya, walau dalam suasana yang tidak aman. Namun keadaan
berkata lain. Perjalanan tidak bisa
dilanjutkan ke tempat tujuan, kota Padang di mana ketiga kakakku dibawa
oleh ayahku. Perjalanan hanya sampai di Palembang. Ibuku mau tidak mau harus menumpang di rumah saudara sepupunya. Kepergian Ibu begitu mudahnya, hanya menderita sakit kepala yang tak tertahankan, beliau menutup mata untuk selamanya. Sekelumit cerita dari Nenek tentang kepergian Ibu yang tak pernah kembali.
Kini di usiaku 78 tahun sebagai seorang pensiunan yang tidak
memiliki penghasilan, hidupku di support oleh tiga orang anak perempuanku. Aku memiliki kekayaan yang tiada tara yaitu kebahagiaan, mungkin yang tidak dimiliki oleh semua ibu. Kebahagiaan karena aku berhasil menjadikan mereka memiliki pendidikan yang mampu menunjang hari depan mereka. Kebahagiaan itu semakin menyusup ke dalam relung hati karena ketiga anakku sangat memperhatikan apa-apa saja yang aku butuhkan. Mereka bertiga kompak mengaturnya. Alhamdulillah.
My Precious diamons |
Ibuku tercinta yang entah di mana pusaranya
telah berhasil menjadikan diriku pribadi yang tangguh. Keprihatinan
menghadapi liku-liku kehidupan di masa kecilku menjadi tombak tajam untuk menghadang segala halangan dan rintangan dalam membesarkan anak-anakku hingga mereka berhasil
menyelesaikan pendidikan. Ketangguhan ibuku telah menempa kepribadianku menjadi sosok yang tangguh pula. Apa yang dialami ibu telah menorehkan dan mematri
perasaan percaya diri yang kuat dalam diriku.
Kebahagiaan yang dianugrahkan oleh Allah SWT melalui anak-anakku selama ini ternyata yang membinarkan senyum ceria diwajahku. Pikiranku kadang menerawang ke alam yang jauh ketika aku masih kecil bersama ibu. Kalau saja, kalau saja....ah, tidak boleh kita ber-andai-andai karena apa yang kita alami adalah kehendak Allah semata. Kenyataannya ibuku belum mengalami kebahagiaan seperti yang aku rasakan sekarang. Karena apalah dayaku ketika itu. Hikmah yang bisa aku ambil dari pengalaman pahitku di masa lalu menjadikan aku sosok yang mampu mensyukuri jalan hidup apa adanya.
Di alam sana pasti Ibuku melihat betapa bahagianya aku dengan apa yang dilakukan oleh anak-anakku -- perhatian, kekhawatiran, kepedulian yang aku terima. Aku yakin Ibuku juga akan ikut larut dalam bahagia melihat kebahagiaanku walau perasaan yang sama tak pernah ia kecap sama sekali. Aku belum bisa berbuat apa-apa. Terlalu kecil. Bisaku hanya bermanja dan bergelayut manja di bahunya ketika Ibu menjahit pakaianku yang koyak karena lapuk.
Semoga ingatan ini akan tetap menjadi cermin bagiku sehingga aku selamanya bisa berkaca dan mampu membaca sorot dan binar mataku sendiri di sana. Masih adakah kebahagiaan itu ataukah sudah mulai memudarkah seiring berjalannya waktu. Setiap insan ciptaanNya, bisa dan mungkin saja berubah. Time will tell.
Seribu kali ada yang bertanya kenapa wajahku selalu ceria dan terawangan mata yang penuh bahagia, maka jawabannya akan selalu sama: "Karena anak-anakku." Kenapa? Karena memang itulah satu-satunya alasan wajahku terlihat lebih muda dari usiaku, walaupun hanya beberapa hari, heeeheeheee... Sebabnya? Aku selalu saja dihujani dengan bahagia oleh anak-anakku, sekecil apapun.
Bagaimana dengan Anda, tidakkah Anda akan semakin sayang kepada Ibu Anda ketika sang buah hati berada dalam pelukan Anda penuh kelucuan atau dengan kenakalan-kenakalannya yang membuat repot dan menggemaskan? Begitulah Ibu Anda dulu, ketika Anda masih kecil. Dengan penuh kasih sayang dan sabar Ibu Anda akan melayani Anda dengan penuh binar mata yang bahagia. Seandainya Anda masih memiliki sosok yang patut dihargai itu, yuk, cepat, kalau mereka dekat, peluklah dan bisikkan ditelinga tuanya "Aku menyayangi Ibu." Peluk ia dan kecup keningnya dengan pagutan kuat. Apabila ia jauh bergegaskan angkat telepon genggam Anda dan hubungi dia. Merupakan kejutan istimewa baginya. Sudah pasti.
Kebahagiaan yang dianugrahkan oleh Allah SWT melalui anak-anakku selama ini ternyata yang membinarkan senyum ceria diwajahku. Pikiranku kadang menerawang ke alam yang jauh ketika aku masih kecil bersama ibu. Kalau saja, kalau saja....ah, tidak boleh kita ber-andai-andai karena apa yang kita alami adalah kehendak Allah semata. Kenyataannya ibuku belum mengalami kebahagiaan seperti yang aku rasakan sekarang. Karena apalah dayaku ketika itu. Hikmah yang bisa aku ambil dari pengalaman pahitku di masa lalu menjadikan aku sosok yang mampu mensyukuri jalan hidup apa adanya.
Di alam sana pasti Ibuku melihat betapa bahagianya aku dengan apa yang dilakukan oleh anak-anakku -- perhatian, kekhawatiran, kepedulian yang aku terima. Aku yakin Ibuku juga akan ikut larut dalam bahagia melihat kebahagiaanku walau perasaan yang sama tak pernah ia kecap sama sekali. Aku belum bisa berbuat apa-apa. Terlalu kecil. Bisaku hanya bermanja dan bergelayut manja di bahunya ketika Ibu menjahit pakaianku yang koyak karena lapuk.
Semoga ingatan ini akan tetap menjadi cermin bagiku sehingga aku selamanya bisa berkaca dan mampu membaca sorot dan binar mataku sendiri di sana. Masih adakah kebahagiaan itu ataukah sudah mulai memudarkah seiring berjalannya waktu. Setiap insan ciptaanNya, bisa dan mungkin saja berubah. Time will tell.
Seribu kali ada yang bertanya kenapa wajahku selalu ceria dan terawangan mata yang penuh bahagia, maka jawabannya akan selalu sama: "Karena anak-anakku." Kenapa? Karena memang itulah satu-satunya alasan wajahku terlihat lebih muda dari usiaku, walaupun hanya beberapa hari, heeeheeheee... Sebabnya? Aku selalu saja dihujani dengan bahagia oleh anak-anakku, sekecil apapun.
Bagaimana dengan Anda, tidakkah Anda akan semakin sayang kepada Ibu Anda ketika sang buah hati berada dalam pelukan Anda penuh kelucuan atau dengan kenakalan-kenakalannya yang membuat repot dan menggemaskan? Begitulah Ibu Anda dulu, ketika Anda masih kecil. Dengan penuh kasih sayang dan sabar Ibu Anda akan melayani Anda dengan penuh binar mata yang bahagia. Seandainya Anda masih memiliki sosok yang patut dihargai itu, yuk, cepat, kalau mereka dekat, peluklah dan bisikkan ditelinga tuanya "Aku menyayangi Ibu." Peluk ia dan kecup keningnya dengan pagutan kuat. Apabila ia jauh bergegaskan angkat telepon genggam Anda dan hubungi dia. Merupakan kejutan istimewa baginya. Sudah pasti.
Membaca ini rasa membaca buku sejarah Bun. Seru dan haru.
BalasHapusIbunda kasihnya sepanjang masa ya Bun. Cantiknyaaa Ibunda nya Bunda
Aduduuu...Ani, gak liat apa anaknya segini ayunya, huahuahua... Makasih kunjungan Ani ke blog bunda, ya.
Hapusduh sedih banget bun bacanya, bunda Yati udah merasakan banget yah masa2 dulu dan kenangan bersama ibu tercinta saat zaman penjajahan. Ceritanya bener2 menginspirasi semoga sehat2 ya bunda :) *al-fatihah untuk ibunda tercinta
BalasHapusIya, herva yulyanti, pahit getirnya kehidupan sudah bunda alami. Alhamdulillah andai tulisan bunda bisa menginspirasi. Terima kasih kunjungan herva ke blog bunda.
HapusAhhh Bundaaa, apa kabar..
BalasHapusMoga sehat selalu yaaa
Baca tulisannya malam2 begini bikin melow, hiks
Al fatihah juga buat Ibundanya Bunda
Duuuh Nchie Hanie, bunda kangen juga nih sama senyumnya Nchie yang manis pisan. Makasih buat alfatehah-nya. Makasih juga untuk kunjungan Nchie ke blog bunda.
HapusBundaaa.... fotonya masih ada ya, dan terlihat masih bagus :)
BalasHapusSanti Dewi, pasti masih inget ya Old and New photos di GA Bunda sekian tahun yang lalu,hehe... Terima kasih kunjungan Santi ke blog bunda.
HapusDuh... Luar biasa kisah hidup Bunda...
BalasHapusIya, kenangan pahit manis masa dulu. Mksh kunjungan Widyanti Yuliandari ke blog bunda.
HapusIbu memang gudangnya cinta dan kasih sayaaang ya bundaaa.. just like my mom!
BalasHapusMasyaAllah... Kehendak dan takdir Allah luar biasa.
BalasHapusBaca rangkaian kalimat Bunda yang mengalun membuat aku terbawa suasana yang tergambar di cerita Bunda.
Semoga Almh Ibundanya mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Ibu sudah menjadikan Bunda sosok yang tangguh dan penuh syukur. Terima kasih Bunda untuk cerita dan inspirasinya.
Anak-anak Bunda penuh kasih sayang seperti Bundanya. Aku pun sayang Bunda. Sehat selalu ya Bunda sayang. 😘
MasyaAllah... Kehendak dan takdir Allah luar biasa.
BalasHapusBaca rangkaian kalimat Bunda yang mengalun membuat aku terbawa suasana yang tergambar di cerita Bunda.
Semoga Almh Ibundanya mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Ibu sudah menjadikan Bunda sosok yang tangguh dan penuh syukur. Terima kasih Bunda untuk cerita dan inspirasinya.
Anak-anak Bunda penuh kasih sayang seperti Bundanya. Aku pun sayang Bunda. Sehat selalu ya Bunda sayang. 😘
Baca cerita Bunda jadi kayak kembali ke masa lalu. Ibu memang begitu besar cintanya ya Bun, semoga semua ibu dimanapun bisa bahagia, Aamiin. Makasih sharingnya Bun. :)
BalasHapusBersyukur ya Bunda, jaga kesehatan dan tetap produktif. semangaaatt
BalasHapusBersyukur ya Bunda, jaga kesehatan dan tetap produktif. semangaaatt
BalasHapusBersyukur ya Bunda, jaga kesehatan dan tetap produktif. semangaaatt
BalasHapusBersyukur ya Bun, jaga kesehatan biar bisa terus produktif. semangat
BalasHapusAsek-asek, selalu segar baca cerita Bunda. Deskripsi tempat dan kejadian cerita membawa terbang mundur kapsul waktu. Dan menurut saya itu keren. Tidak banyak yang seperti Bunda, mau apalagi mampu menuliskan situasi zaman kolonial yang membuka wawasan anak bangsa tentang empedunya hidup di zaman itu. Ahamdulilah, semoga Bunda diberkahi sehat dan usia barokah. Ditunggu tulisan lain. Lop U.
BalasHapus