Bisakah Anda Menerapkan Adab Bertoleransi?

Kalau ada yang bertanya padaku tentang "Bisakah Anda Menerapkan Adab Bertoleransi?" Jawabanku tentu saja bisa donk! Sejauh itu hanya menyangkut toleransi dalam masyarakat dan lingkup kecil dalam keluarga aku akan berusaha berbuat sebaik mungkin menerapkannya.
Sumber gbr: wajibbaca.com


Toleransi dalam masyarakat menurutku kita bertoleransi dengan orang yang belum kita kenal. --  misalnya di tempat umum. Kejadian yang tidak pernah kita bayangkan, katakanlah ketika kita masuk ke stasiun busway ada seseorang saat melewati pintu masuk dan menempelkan kartu, dompetnya terjatuh, ia sudah terlanjur masuk. Aku yang berdiri di dekatnya, secara refleks bergegas membantunya memungut dompet itu pastinya. Tak mungkin kan dia harus keluar lagi. Itu menurut pikiranku. Toleransi di sini berarti memberi bantuan tanpa diminta  --  menolong seseorang.

Setiap individu memiliki sifat dan karakter yang berbeda satu sama lain. Sulit sekali dalam kehidupan ini apabila kita tidak memiliki jiwa toleransi antar-sesama manusia. Misalnya dalam hidup bertetangga kita harus tenggang rasa, bertoleransi tinggi agar tidak terjadi kesalahan-pahaman sesama tetangga. Sifat ini bila kita jalankan dengan berkesinambungan akan terjadilah jalinan  yang akrab, hidup di wilayah yang sama dengan damai dan tenteram. Toleransi di sini berarti saling menjaga lisan, tutur kata demi menjaga keharmonisan bertetangga. Kenapa? Karena tetangga adalah keluarga kita yang paling dekat, yang bisa seketika kita mintai bantuan dalam waktu cepat. Coba kalau kita saling tak peduli satu sama lain, pastilah hal ini tak mungkin terjadi. Toleransi antar-tetangga ini sangat penting. 

Toleransi dalam keluarga -- apa yang sedang aku alami sekarang -- aku tinggal sendiri di rumahku, sedangkan anakku yang tinggal berjauhan adalah wanita karir. Dia bekerja, harus berangkat  pukul 05.50, sedangkan permata hatinya masih tertidur lelap, karena ia masih terlalu mengantuk untuk tetap terjaga sehabis Solat Subuh -- tak ada orang lain di rumah, selain harus menunggu Mbak yang baru akan datang pada pukul  06.20 dan pulang sore hari pukul 16.00, sedangkan anakku sampai di rumah paling cepat pukul 1830.  Akan sampai hatikah aku membiarkan Cucuku dalam dua tenggang waktu harus tinggal sendiri di rumah.

Karena itu aku diminta oleh anakku untuk stand-by di rumahnya agar ia bisa on time sampai di kantor -- anaknya pun tidak sendirian ketika menunggu Sang Mama pulang. Oke, aku harus memberikan toleransiku demi anakku menjalankan tugasnya dengan baik dan hatinya tidak ragu untuk meninggalkan anak semata-wayangnya seorang diri di rumah dalam keadaan tidur. Nenek mana yang bisa menolak kalau  dihadapkan pada situasi seperti ini. Hidup di zaman now ini harus pandai-pandai saling menghargai, sekalipun antara Ortu dan Anak. Betul sekali, kan? Hehe...caridukungan 

Bisakah ia meminta si Mbak untuk datang lebih awal? Tentu saja tidak. Si Mbak memiliki keluarga dan harus menyediakan sarapan pagi untuk keluarga kecilnya. Pasti ada pertanyaan kan? Kenapa gak si Mbak aja yang diminta untuk datang lebih pagi? Si Mbak bertugas dari pagi hingga pukul 16.00. Lho, tadi kan sudah aku jelaskan di atas si Mbak juga memiliki keluarga dan harus menyiapkan segala keperluan untuk anaknya yang juga bersekolah. Karena itu ia tidak bisa bertoleransi. Sangat bisa dimaklumi...

Anakku meminta aku untuk stand-by di rumahnya sebelum pukul 06.00 agar ia bisa siap berangkat ke kantor. Apakah aku akan menolaknya? Tentu saja tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaannya. Sekalipun aku harus meninggalkan pengajian di Majelis Taklim. Tak mengapa, aku bisa membaca Al Qur'an kapan saja di rumah anakku. Tak pernah terlintas dalam hati rasa menyesal telah bertoleransi dengan kebutuhan anakku.

Last but not least: ltulah menurutku beberapa tip tentang bertoleransi yang bisa dipetik dari postinganku ini. Nah, bagaimana? Bisakah Anda Menerapkan Adab Bertoleransi?


Komentar

  1. Ini salah satu nilai penting Bunda .. dan aku coba ajarkan ke anak-anak sedini mungkin

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah diingatkan Bunda.. mulai seakrang akan lebih ekstra lagi mengajarkan toleransi pada anak-anak, supaya saat besar nanti bisa peka terhadap kebutuhan orang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tos dulu deh, bunda juga sejak awal anak-anak masih kecil sudah menerapkan prinsip ini. Tapi ke sininya koq ya generasi milenial kali ya, susah banget tuh diterapkan ke cucu-cucu.

      Hapus
  3. Toleransi, sungguh memiliki pengertian yang dalam.
    Itulah kenapa penting menerapkan pengertian toleransi sejak dini, agar mampu menempatkannya sesuai kondisi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dalam pergaulan hingga jaman now bunda rasa tolerasi untuk kita pun masih dibutuhkan dan harus tetap diterapkan. Terima kasih sudah berkunjung.

      Hapus
  4. Namanya juga ke cucu sendiri ya, bunda. Mana bisa menolaaak. Emakku pun begitu, bahkan klo alasanku cuma untuk traveling, dititipi anakku, emakku selalu sedia. Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Noe, sama donk your Emak sama bunda. Kerja di Unicef bagian kesejahteraan anak-anak, gak heran deh anak bunda seringkali dikirim ke luar kota untuk tugas. No wonder pulang-pulang capeknya gak ketulungan tuh sang anak. Nah, apa tega si Emak langsung pulang meninggalkan cucu? Toleransi ada di sana, kan.

      Hapus
  5. Wujud toleransi ternyata luas sekali ya, Bunda, bahkan dalam hal kesediaan menunggui cucu selagi mbak pengasuh blm datang. Jd terbuka pikirankuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyalah, kan si Mbak juga punya keluarga, punya anak yang sudah di SMK yang punya banyak tugas dari sekolah karena dia paling pinter. Nah, sarapan, baju seragamnya kanharus disiapkan.

      Hapus
  6. MasyaAllah Bunda, aku jadi ingat Mama. Karena beberapa alasan, dulu akhirnya aku yang mundur dari kerjaanku.

    Bunda, semoga Allah selalu berikan kesehatan serta kebahagiaan utk Bunda dan keluarga. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Juli, itu pun adalah langkah yang tetap, karena anak tidak seharusnya bergantung pada anak untuk mengurus anaknya (cucu neneknya, hehe). So, don't worry be happy. Itulah yang seharusnya terjadi. Tapi dalam keadaan darurat, ya sang Ibu hars bertoleransi dengan keadaan anaknya. Sama-sama mengerti dan ikhlas. Jadi happy semua, kan. Aamiin untuk do'a Juli.

      Hapus
  7. Toleransi bisa di mana saja ya, bunda, apalagi keluarga sendiri, dan cucu sendiri, hehehe walaupun repot tetap ditolerans

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siiip! memang dalam keadaan darurat memang seharusnyalah begitu, Mbak Rani. Jadi keluarga happy, cucu dekat sama neneknya.

      Hapus
  8. Tak apa Bun, sambil mempererat bounding dengan cucu ya Bunda sekaligus memberi contoh toleransi juga.. Sehat2 selalu ya Bunda Yati...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini sudah terjadi sejak sang cucu berumur 3 tahun dan sekarang sudah 12 tahun, keadaan terus seperti ini, dan bagi bunda menyenangkan sekali. Cucu bisa ketawa sangat riang kalau becanda sama bunda tuh. Terima kasih do'a Mechta. Semoga Mechta dan keluarga juga selalu dalam lindunganNya. Aamiin.

      Hapus
  9. mertuaku juga sangat menoleransi saya dan suami, Bunda. Beliau dengan senang hati menawarkan diri menjaga anak kami saat kami sedang bekerja :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Peluk buat ibu mertua Ira, ya. Jarang lho yang seperti itu. Bunda banyak pnya kenalan yang arogannya bukan main. Mereka kebanyakan berpendapat, udah ngegedein anak, masa sih sekarang harus ngegedein cucu. Astagfirullahal aaziin. Teganya mereka berpendirian seperti itu, ya.

      Hapus
  10. Sejak awal aku tahu Bunda Yati baik sekali dan sayang sekali ama cucunya dan anaknya. Sehat selalu bunda ya yang sellau mau bertoleransi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Alida atas pujiannya. Dulu tuh, mantan bunda mau nikahin bunda karena dilihatnya bunda tuh sayang sama anak-anak, hihihiii....bukan sayang sama bunda pribadi, padahal dia cintanya selangit buat bunda. #bundageer

      Hapus
  11. sebagai orangtua baru aku harus banyak belajar sama bunda. hehe rasanya anak generasi alfa dijaman sekarang memang harus banyak diajar toleransi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gak juga, Rizka sayang, toleransi itu bisa juga muncul mulus tulus dari hati. Trust me. Tolerasi kita harus berdamai dengan keadaan sekeliling, kan. Jadi pasti akan tertembak tuh lanak generasi millenia melihat contoh-contoh sekeliling.90% pasti.

      Hapus
  12. Demi cucu ya, Bun. Mamanya pun bisa bekerja dengan tenang karena cucunya dijaga oleh neneknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya dooonk, Chi, demi cucu. Kalo gak gitu nenenknya ntar gak dapet meal allowance dari mamanya cucu, hehe... Makasih kunjungan Chi.

      Hapus
  13. Bunda...aku jadi teringat ibuku yang sayang banget sama cucu-cucunya. Ibuku pun dengan senang hati merawat cucunya dari pagi hingga petang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bunda pikir itulah Nenek yang mempunyai pikiran yang bijaksana dan disertai rasa sayang juga pastinya. Tapi hampir kebanyakan nenek gak begitu prinsipnya. Banyak koq bunda berkenalan dengan para nenek yang gak mau terbebani oleh tugas dari anak untuk menjaga cucu. Sadis kalo menurut bunda mah, hehe...itu nenek maunya enaknya aja.

      Hapus
  14. Toleransi tidak hanya diberlakukan kepada orang lain, justru dengan keluarga sendiri pun harus ada toleransi, ya, Bun. Sambil nemenin cucu, bisa sambil ngeblog, asyik, deh!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siip..pasti dibiasakan dengan keluarga sendiri dulu kelles, baru deh keluar, hehe...tapi bisa juga dijalankan kedua-duanya. Karena setelah kita bertoleransi kita sediri juga yang akan merasakan betapa indahnya toleransi itu. Makasih kunjungan Nurul ke blog bunda.

      Hapus
  15. Masih butuh banget buat belajar banyak bertoleransi. Kadang aku masih suka egois gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihii...umur masih muda, biasalah itu. Bunda juga dulu waktu umur-umur menjelang 35 huuu...ada juga sih egois-egoisnya dikiiit... Habis bisa karena biasa, itulah dia pelajaran untuk bisa bertoleransi, sayangkku, Jiah.

      Hapus
  16. Biasanya Nenek malah lebih care ke Cucu kan ya Bun, jd mana bisa ini nolak buat jagain cucu tercinta ;)

    Tapi adab bertetangga, duuh saya masih nemu lho Bun yg tetangga masa bodoh, isshh macam sitkom itu lhoo, Tetangga Masa Gitu, huffft.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin tetangga itu gak cukup makan bangku sekolah, hahaha....jadi Diah Alsa kudu sabar, ya. Emang bener sih nenek tuh lebih sayang ke cucu ketimbang ke anak (sssttt...untuk anak bunda bukan blogger, jadi dia gak baca, hehehe...)

      Hapus
  17. Andai banyak orang punya empati, bisa merasakan gimana posisinya kalau jadi orang lain, dijamin nyaman ya hidup itu Bun...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dua jempol untuk Ika Maya Susanti, bener banget tuh. Tapi yaah, mau diapain lagi lha wong uang juga berkuasa (jadi bisa donk Ika menjabarkannya sendiri kalo orang punya banyak doku biasanya arogannya gak ketulungan. Makasih kunjungan Ika ke blog bunda.

      Hapus
  18. Sayangnya ortu saya jauh. Mertua pun gitu. Tapi walau dekat, suami juga ga ijinkan kalau anakku dititipkan ke mereka. Meski cucunya.

    Perlu toleransi sebagai anak bahwa sudah saatnya ortu rehat dan menikmati masa tua, bukan urus cucu. Haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naaah ini! Banyak juga koq para ibu-ibu muda yang berprinsip seperti ini. Mulianya hati mereka, membiarkan ortunya rehat dan menikmati masa tua. Ini biasanya terjadi di Western Countries, tapi gak di negara kite, hehehe... Tapi sebaliknya si ibu ini yang gak keras kepala maunya dekeeeet aja sama cucu. Jadi toleransi di sini jadi salah kaprah. Keinginan anak yang mulia terkadang dikalahkan oleh keinginan nenek yang menggebu pengen deket cucu. Jangan salahkan mereka ya. (termasuk bunda juga nih gak mau disalahin kalu pengennya deket cucu, hahahaha...)

      Hapus
  19. Berusaha utk tetap bermanfaat bagi sekitar ya bun. Walau harus mengorbankan sedikit kesenangan pribadi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, karena mengorbankan kesenangan pribadi tanpa sadar Allah memberi penilaian sebuah pahala. In Shaa Allah. Terima kasih kunjungan Farida ke sini.

      Hapus
  20. harus bisa ya bun apalag hidup bertetangga. Toleransi antara anak dan orangtua juga penting banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget tuh, Lidya, kita jauh dari anak dan keluarga tapi dekat dengan tetangga, maka bila ada apa-apa yang terjadi pada kita, yang utama aware adalah tetangga, bukan berarti meremehkan keluarga lho ya. Tapi kenyataannya kan begitu. Hubungan kedalamd tentu donk harus dijalin dan dieratkan toleransi antar anak dan ortu.

      Hapus
  21. Kalau aku menjalin hubungan baik dgn tetangga karena sesekali nitipin anak-anak ke tetangga kalau ada keperluan. Ibu sudah meninggal, ibu mertua jauh syekali.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini juga suatu awal menjalin hubungan melalui toleransi antar tetangga, saling percaya. Ah, rukunnya hubungan antar tetangganya Mbak Layla Hana ini, hingga bisa menitippkan anak-anak ke tetanggal. Ikut berduka cita untuk Ibu mbak Leyla yang sudah tiada, juga ibu mertua. Bunda sekarang jadi ibu online, ya. lv you, mbak Leyla Hana.

      Hapus
  22. Bisa bangeeet Bunda .. dan bahkan harus diasah terus sejak dini. Kalau tidak bisa bertoleransi akan sulit bergaul di masyarakat luas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, bunda jadi gak ngerti nih kenapa bulan April udah ada komentar dari mbak Indah, hihihiii... Memang betul harus diasah, alah bisa karena biasa, itu kata pribahasa. Yang terakhir yang paling penting andai kita tidak bisa bertoleransi akan sulit bergaul di masyarakat bahkan mungkin akan tersingkir dan diisolasikan, hii...serem ya.

      Hapus
  23. Seandainya saya tinggal berdekatan dengan keluarga...pasti adab bertoleransi harus dilakukan.
    Sayangnya,
    di kota tempat saya tinggal, saya hanya sendiri.

    Jadi benar, Bunda.
    Saya mengandalkan tetangga sebagai keluarga terdekat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hubungan baik dengan tetangga biasanya dimulai dari diri kita sendiri. Tetangga bisa lebih dekat hubungannya dibandingkan dengan keluarga jauh. Tapi betapapun keluarga adalah keluarga yang tak dapat kita tepis dari ingatan dan hubungan batin.

      Hapus
  24. Apapun keyakinan kita, prinsip kita, karakter kita, semuanya bisa terjalin dengN baik dengan adanya toleransi, sharing kk menarik. Mudah2an makin banyaj org melek dgn sikap toleransi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju dengan pendapat my Fairy Books ini. Semoga saja, karena dengan toleransi komunikasi dengan siapa pun akan terjalin dan menjadi ikatan yang erat.

      Hapus
  25. ini kayak mamaku banget bun, walopun sudah sepuh tapi kalau diminta jagain cucunya selalu siap sedia hihihi... tapi tentunya yang gak memberatkan juga dong ya, anak juga harus tahu porsinya... tapi kalau hanya sekedar menunggui kan gak papa toh? #caridukungan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaaa...gak usah dicari dukungannya, mbak handdriati, di sini sudah ada seorang pendukung, yaitu bunda-mu yati rachmat. Hehe...bunda juga boleh dibilang hanya monitor doank, karena sudah ada pembantu yang menyelesaikan segalanya di rumah anak. Bunda hanya tinggal monitor cucu apakah sudah tersedia segala yang dibutuhkannya sementara sang Mama bekerja di kantor.

      Hapus
  26. Iya bunda, nilai ini yang harus terus ditingkatkan di diri kita ya Bun. Karena kalau mengharapkan orang lain tanpa kita dahulu melakukannya, nampaknya akan dia dia mengkampanyekan nilai toleransi di antara masyarakat terutama dalam.keluarga kecil kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, mbak Sri Widiyastuti, semua harus diawali dari membiasakan diri, di mulai dari keluarga kecil kita, yang in shaa Allah akan meluas dengan sendirinya ke lingkungan sekitar rumah, pertemanan dan masyarakat pada umumnya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu