Wasiat Seorang Ayah


Berikut tulisanku yang pernah aku ikutkan dalam sebuah lomba menulis, tapi aku lupa siapa penyelenggaranya. Corat-coret ini terinspirasi dari cerita sebelum tidur yang dikisahkan oleh nenek ketika aku kecil. Sebagat pengingat tak ada salahnya aku muat kisah ini sebagai postingan di blog.



Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang saudagar yang kaya raya. Sebutlah nama saudagar itu Pak Salim. Pak Salim mempunyai tiga orang anak laki-laki yang sudah dewasa, masing-masing bernama Murad, Munir dan Ma’ruf.

Mereka sudah lama ditinggal meninggal oleh ibu mereka, sehingga hanya tinggal bersama ayahnya saja. Ketika Murad dan Munir melangsungkan pernikahan, mereka mengajukan permintaan kepada ayah mereka agar pernikahan itu diselenggarakan semeriah mungkin.

Karena teramat sayang kepada anak-anaknya, ayahnya menuruti permintaan tersebut. Tetapi si bungsu, Ma’ruf tidak begitu setuju dengan sikap ayahnya yang meluluskan apa pun yang diinginkan oleh kakak-kakaknya. Namun Ma’ruf tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti saja apa kehendak ayahnya dan ia selalu berusaha menjadi anak yang patuh.

Setelah Murad dan Munir memiliki keluarga dan juga telah beroleh anak-anak yang manis dan lucu. Mereka mengajukan lagi permintaan agar dibuatkan masing-masing sebuah rumah. Mereka tidak mau lagi berkumpul dalam satu rumah dengan ayah mereka dan Ma’ruf. Mereka tidak mau mengganggu ketenangan ayah karena baik Murad maupun Munir telah memiliki keluarga kecil. Anak-anak mereka yang masih di bawah umur 7 tahun itu sedang nakal-nakalnya. Selalu membuat keributan dan kerusuhan sesama saudara sepupu, bahkan antara kakak beradik kandung sekalipun.  Dengan alasan agar ayah mereka bisa mengalami ketenangan, mereka berharap agar permintaan mereka dikabulkan.

Begitulah, permintaan mereka lagi-lagi dikabulkan oleh sang ayah. Dibangunlah dua buah rumah yang megah masing-masing untuk Murad dan Munir. Ma’ruf hanya bisa mengelus dada. Hatinya tidak menyetujui keputusan ayahnya untuk mengabulkan setiap permintaan kedua kakaknya.

Setelah mereka hidup mandiri, Murad dan Munir sangat jarang menengok ayah mereka. Kalaupun mereka datang hanyalah untuk suatu permintaan yang bersangkutan dengan uang. Hanya Ma’ruf-lah yang selalu menjaga ayah dan memperhatikan kesehatan ayahnya. Ma’ruf sangat prihatin melihat keadaan ayahnya. Ma’ruf tahu di dalam bathin ayahnya tersembunyi suatu kekecewaan akan ulah kedua anaknya Murad dan Munir, namun tak pernah sekali jua ia mengemukakannya kepada mereka apalagi kepada Ma’ruf.

Hal tersebut menyebabkan ayahnya menderita batin. Untuk apalah harta kekayaan, andaikan tidak semua anak-anak menyayanginya sepenuh hati. Mereka hanya memerlukan harta dan kekayaan saja. Kekecewaan yang bergelayut berkepanjangan di hatinya menyebabkan ayahnya jatuh sakit.

Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Ayah mereka bertambah lama bertambah parah sakitnya. Pada suatu hari ia meminta kepada Ma’ruf untuk mengumpulkan seluruh keluarga, Murad, Munir, cucu-cucunya dan keluarga besar lainnya.

“Ayah merasa hidup ayah tidak akan lama lagi”, suaranya terbata-bata. Matanya dengan lemah berpindah dari satu anak ke anak yang lain. Dari satu cucu ke cucu yang lain. Akhirnya matanya bertumpu dengan lekat pada Ma’ruf.

“Maafkan ayah, Ma’ruf. Ayah tidak bisa menyaksikan kau hingga ke pelaminan. Tapi ayah merestui hubunganmu dengan Halimah”, suaranya semakin terdengar sangat lirih dan perlahan.
Ma’ruf memegang tangan ayahnya. Diusapnya lengan ayahnya. Dia bisa meraba betapa tebalnya urat-urat di punggung tangan ayahnya yang mengakar hingga ke lengan atas.  Hatinya menangis karena ia tidak mampu menyadarkan kedua kakaknya untuk bisa menyenangkan hati ayah mereka dengan sikap dan kepatuhan kepada orang-tua yang tinggal satu ini. Mereka hanya melihat harta, harta dan harta.

sMungkin saat ini keduanya sangat mengharapkan ayahnya untuk mati segera. Ah, kejamnya hati kedua kakakku ini, begitu teriak hati kecil Ma’ruf.

Sambil meminta anak-anaknya untuk mendekat, ayahnya berkata:
“Kalau ayah sudah tidak ada, bagilah harta yang ayah tinggalkan untuk kalian bertiga. Sama rata. Tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang. Kalian semua anak-anakku dan Ma’ruf walaupun belum berumah tangga, tetap mempunyai hak yang sama. Santunilah saudara-saudara ayah dan saudara-saudara ibumu dengan sebaik-baiknya. Bantulah mereka dimana mereka memerlukan uluran tangan kalian. Jangan pernah menolak permintaan mereka. Ada pesan ayah lagi yang harus kalian camkan bai-baik. Selama kalian berangkat ke tempat usaha, janganlah kalian sekali-kali terkena panas matahari. Kalau ini kalian patuhi, maka Insya Allah harta kalian akan bertambah keberkahannya. Dan….dan…” sampai disitu lengan yang sedang dalam genggaman Ma’ruf pun terkulai lemah. 
“Innanilahi wainnailaihi rojiuuun…”, serentak mereka mengucapkan kata-kata itu.

Ayah mereka telah berpulang kerahmatullah dengan damai. Sesungging senyum terbayang di
bibirnya yang pucat. Istighfar panjang mengiringi kepergiannya. Amin. Ya, Robbal’alamin.

Lima tahun kemudian
Kehidupan Murad dan Munir semakin hari semakin dalam kesulitan. Usahanya tidak bertambah maju, malahan bertambah banyak hutang yang ditimbunnya. Kesulitan melingkari kehidupan mereka. Tidak demikian halnya dengan kehidupan Ma’ruf. Usahanya semakin maju. Langganannya bertambah banyak dan semakin banyak para  penanam modal yang menitipkan uangnya di perusahaan Ma’ruf. Kehidupan rumah-tangganya pun sangat harmonis. Halimah adalah wanita yang solehah dan kedua anak kembarnya, satu laki dan satu perempuan pun telah tumbuh menjadi anak yang soleh dan soleha serta amatlah lucunya. Sangat santun terhadap orang yang lebih tua. Selalu menghargai bantuan orang lain. Dan mereka sangat menghormat Abi dan Umi, begitu mereka memanggil ayah dan ibunya.

Berita tentang keberhasilan Ma’ruf ini pun sampai ke telinga kedua kakaknya. Mereka kini telah jatuh miskin dan memerlukan uluran tangan dari Ma’ruf.
“Bagaimana kau mengelola usaha ayah ini, Ma’ruf?”, tanya kedua kakaknya serempak.
“Sebelum aku menjawabnya, aku ingin tahu dari kakak berdua bagaimana kakak mengelola usaha yang diwariskan oleh ayah kita, tanya Ma’ruf dengan penuh keingin-tahuan.
Murad berkata: “Aku menghabiskan banyak uang untuk membangun jalan khusus dari rumahku sampai ke tempat usahaku agar aku tidak kena panas matahari. Aku telah membuat atap sepanjang perjalanan menuju tempat usahaku. Uangku terkuras sementara usahaku tidak pernah beranjak maju. Akhirnya seperti yang kau lihat sekarang. Aku datang kepadamu dan meminta pengertianmu untuk membantu kami”.

Ma’ruf merenung dan memandang Murad dengan iba. Dan kau kak Munir?
Tiada gairah sikap Munir untuk menjelaskan mengapa usahanya menjadi bangkrut seperti sekarang ini. Tetapi dia harus menjelaskan sejujurnya kepada adiknya agar Ma’ruf mengerti dan mau mengulurkan tangan membantunya.
“Sejak ayah meninggal, setiap hari pagi dan petang aku memesan kendaraan khusus sewaan untuk mengantarkan aku ke tempat usaha. Bisa kau bayangkan berapa sudah uang yang kuhabiskan untuk biaya transportasiku selama hampir lima tahun ini. Semua itu aku lakukan agar aku tidak kena panas matahari. Belum lagi isteriku yang senang dengan kemewahan hidup dan selalu mengikuti mode mutakhir. Jangankan modal yang bertambah, warisan tanah dari ayah pun sudah terjual. Sekarang terserah kau saja apa yang bisa kau perbuat untuk kedua keluarga kakakmu ini. Kami benar-benar sudah bangkrut. Tidak seperti engkau yang semakin hari semakin jaya usahamu.” 

Suara Munir terdengar begitu penuh keputus-asaan.
Seketika suasana menjadi hening. Murad dan Munir masih bertanya-tanya akankah Ma’ruf menolongnya keluar dari kesulitan ekonomi ini. Akankah?
Keduanya menunggu dengan penuh kesabaran apa yang akan diucapkan oleh adiknya ini.
“Kakak ingin tahu apa yang aku lakukan setelah kepergian ayah?”, Ma’ruf bertanya sambil memandang silih berganti Murad dan Munir. Keduanya mengangguk.
“Pesan ayah sangat aku perhatikan, kita tidak boleh sekali juga kena panas matahari ketika akan menjalankan usaha. Langkah yang telah kakak ambil amatlah bertentangan dengan wasiat ayah. Walaupun tidak disebutkan apa yang tersirat dibalik ucapan ayah itu, namun aku cepat menarik kesimpulan kemana arah pembicaraan ayah.”
“Maksudmu”. Tanya Murad.
“Ayah menghendaki kita semua agar tidak meninggalkan solat dan segala perintah dari Nabi Junjungan kita Muhammad SAW. Aku mengerjakannya, kak. Aku berusaha mengikuti perintah ayah yang tidak terucap itu dengan sebaik-baiknya. Agar tidak terkena matahari, aku berangkat ke tempat usahaku seusai menjalankan sholat shubuh. Sebelum matahari terbit aku sudah sampai ke tempat kerja. Kemudian ketika pulang aku selalu menjalankan sholat Isha terlebih dahulu setelah itu barulah aku pulang.. Alhamdulillah rupanya di sinilah letak keberkahan rizki dari Allah Subhaanahuwata’ala

Ma’ruf mengakhiri penjelasannya sambil merangkul kedua kakaknya dengan penuh kecintaan.sambil berbisik: 

“Aku tidak menggurui kakak, tapi cobalah untuk banyak-banyak membaca shalawat Nabi”.




S e l e s a i.


Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini:
·        Kita harus berhemat dalam hidup, karena hemat adalah pangkal kaya
·        Kita harus menaati amanah dari orang tua dan mencermati apa yang tersirat bukan hanya yang terucap
·        Menjalankan perintah Allah untuk melaksanakan kewajiban solat 5 waktu.
·        Menjauhkan diri dari sifat ria, sombong dan boros.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ada Apa Dengan Panggilan Bunda?

Khasiat Serai Merah

Eratnya Ikatan Kekeluargaan Itu