Hijrah dari Kota ke Kota
Day-10
Sekalian untuk mengingat masa laluku yang hijrah dari kota ke kota maka aku mengganti tema day-10 (5 rekomendasi buku/film/musik) dengan kota-kota yang pernah aku tinggali. Bagiku lebih mudah menuliskan apa yang pernah aku alami daripada me-rekomendasikan buku/film/musik yang jarang sekali aku lakukan aktivitas ini sampai tuntas. Beruntung ada tema pengganti sehingga aku bisa lanjut mengikuti tantangan ini. Kota-kota mana saja yang pernah aku tinggali, tentu aku akan memulainya sejak aku lahir.
Cirebon adalah kota pertama karena menurut nenekku aku dilahirkan di kota udang ini hingga aku berusia 7 tahun. Pada usia sekolah umur 8 tahun kami pindah ke Jogjakarta, tinggal di Jalan Karasak. Tidak banyak yang dapat aku ceritakan tentang bagaimana suasana Jogjakarta ketika itu.
Aku sempat bersekolah di Jogjakarta hingga kelas 5 sekolah dasar dan di sekolah itu akulah mengenal bacaan ho-no-co-ro-ko do-to-so-wo-lo Hehe...sampai sekarang aku belum paham apa artinya, tapi dapat dengan lancar dan cepat mengucapkannya. Entah apa yang menyebabkan kemudian seluruh keluarga Jogjakarta pindah ke Jakarta. Ayahku yang terpisah sejak aku berusia 7 tahun dengan izin Allah kami dipertemukan. Di Jakarta tempat kami bertemu dan hampir saja aku tidak menginginkan keberadaan ayahku, karena lebih lama tinggal bersama nenek dan kakek ketimbang bersama ayahku dan ibu sambungku.
Kehidupanku setelah bertemu ayah kandungku mulai menyenangkan. Yang semula aku tak mau dan takut untuk mendekat, akhirnya luluh juga disebabkan begitu pandainya ayahku membujukku dengan caranya. Semula aku tak ingin dipeluknya, tapi ayahku dengan sabar selalu membujukku hingga hatiku mencair dan jatuh ke dalam pelukan ayahku yang sejak lahir meninggalkanku.
Waktu terus berjalan, aku besar dan menjadi anak yang pada usia 12 tahun sudah mandiri dan sudah jago mengetik 10 jari dengan kecepatan yang cukup memukau ayahku. Semua ini berkat ayahku yang mendidik kami dengan disiplin. Ketika itu aku baru tamat SD. Bersama ayah beberapa tahun sudah terasa kenyamanku hidup berkumpul bersama kakak-kakakku dan ibu sambungku serta nenek dan kakek. Kami tinggal di Kebayoran Baru. Ayahku bekerja di kantor Dewan Perwakilan Rakyat R.I. di depan Lapangan Banteng (kalau tidak salah) Jalan Merdeka Timur.
Ayahku mendapat perumahan dari kantornya dan kami tinggal di sebuah rumah gedung yang lumayan besarnya, di Jalan Ciragil No. 27, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aku masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar yang letaknya di Jalan Citayam, tidak jauh dari rumahku. Ketika itu adalah masa-masa keemasan ayahku yang bekerja di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan memiliki rumah sendiri di wilayah ini. Ayahku membuka kursus Mengetik dan Bahasa Inggris. Aku yang masih kecil diminta oleh ayah untuk mengajar mengetik sepuluh jari blind system. Siapa takut? Kursus ayahku maju dan telah melahirkan ratusan murid-murid yang dapat mengetik cepat dengan baik berpatokan pada blind system.
Seiring berjalannya waktu yang bergulir, selesai sekolah sampai dengan SMA. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah. Tapi ayahku menginginkan aku bekerja dulu, baru nanti kuliah. Aku pun bekerja di Kantor Sekretariat Negara, Jalan Merdeka Selatan. Aku tinggal di Kebayoranbaru, kami masih punya mobil kuno kalo gak salah merek Dodge, hehe...bukan Dog, ya... Aku bekerja diantar ayah pada awalnya tapi kemudian aku putuskan untuk mandiri berangkat sendiri ke kantor.
Waktu terus berjalan tak dapat dihambat...
Untung tak dapat diraih malang pun tak dapat ditolak, musibah menimpa keluarga. Kesehatan ayahku menurun dengan tiba-tiba, sehingga keluarga besar memutuskan untuk menjual rumah yang kami tempati dan mencari lokasi baru yang sejuk, segar untuk kesehatan ayah agar cepat membaik. Kota Bogor adalah pilihan kami. Setelah semua beres, aku tinggal di Bogor untuk beberapa lama. Aku mengajukan cuti tak dibayar (leave without pay).
Singkat cerita aku mendapat jodohku dan menikah di Bogor tapi tentunya setelah pernikahan aku harus ikut suami dan tinggal bersama di Kebayoran Baru.
Aku pindah bekerja di perusahaan General Motor di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Perusahaan besar yang berpusat di New York. Karena keberuntungan juga aku mendapat fasilitas sebuah rumah tinggal di wilayah Cilincing -- rumah dinas yang beberapa tahun kemudian bisa kami beli dengan cicilan dan akhirnya menjadi milik kami. Kota panas Jakarta Utara di mana anak-anakku dilahirkan dan dibesarkan.
Setelah anak-anakku dewasa, bekerja dan mendapat jodohnya masing-masing, kami pun hijrah dari Tanjung Priok ke wilayah Tangerang Selatan. Aku bermukim di Pamulang hingga sekarang.
Sekalian untuk mengingat masa laluku yang hijrah dari kota ke kota maka aku mengganti tema day-10 (5 rekomendasi buku/film/musik) dengan kota-kota yang pernah aku tinggali. Bagiku lebih mudah menuliskan apa yang pernah aku alami daripada me-rekomendasikan buku/film/musik yang jarang sekali aku lakukan aktivitas ini sampai tuntas. Beruntung ada tema pengganti sehingga aku bisa lanjut mengikuti tantangan ini. Kota-kota mana saja yang pernah aku tinggali, tentu aku akan memulainya sejak aku lahir.
Cirebon adalah kota pertama karena menurut nenekku aku dilahirkan di kota udang ini hingga aku berusia 7 tahun. Pada usia sekolah umur 8 tahun kami pindah ke Jogjakarta, tinggal di Jalan Karasak. Tidak banyak yang dapat aku ceritakan tentang bagaimana suasana Jogjakarta ketika itu.
Aku sempat bersekolah di Jogjakarta hingga kelas 5 sekolah dasar dan di sekolah itu akulah mengenal bacaan ho-no-co-ro-ko do-to-so-wo-lo Hehe...sampai sekarang aku belum paham apa artinya, tapi dapat dengan lancar dan cepat mengucapkannya. Entah apa yang menyebabkan kemudian seluruh keluarga Jogjakarta pindah ke Jakarta. Ayahku yang terpisah sejak aku berusia 7 tahun dengan izin Allah kami dipertemukan. Di Jakarta tempat kami bertemu dan hampir saja aku tidak menginginkan keberadaan ayahku, karena lebih lama tinggal bersama nenek dan kakek ketimbang bersama ayahku dan ibu sambungku.
Kehidupanku setelah bertemu ayah kandungku mulai menyenangkan. Yang semula aku tak mau dan takut untuk mendekat, akhirnya luluh juga disebabkan begitu pandainya ayahku membujukku dengan caranya. Semula aku tak ingin dipeluknya, tapi ayahku dengan sabar selalu membujukku hingga hatiku mencair dan jatuh ke dalam pelukan ayahku yang sejak lahir meninggalkanku.
Waktu terus berjalan, aku besar dan menjadi anak yang pada usia 12 tahun sudah mandiri dan sudah jago mengetik 10 jari dengan kecepatan yang cukup memukau ayahku. Semua ini berkat ayahku yang mendidik kami dengan disiplin. Ketika itu aku baru tamat SD. Bersama ayah beberapa tahun sudah terasa kenyamanku hidup berkumpul bersama kakak-kakakku dan ibu sambungku serta nenek dan kakek. Kami tinggal di Kebayoran Baru. Ayahku bekerja di kantor Dewan Perwakilan Rakyat R.I. di depan Lapangan Banteng (kalau tidak salah) Jalan Merdeka Timur.
Ayahku mendapat perumahan dari kantornya dan kami tinggal di sebuah rumah gedung yang lumayan besarnya, di Jalan Ciragil No. 27, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Aku masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar yang letaknya di Jalan Citayam, tidak jauh dari rumahku. Ketika itu adalah masa-masa keemasan ayahku yang bekerja di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan memiliki rumah sendiri di wilayah ini. Ayahku membuka kursus Mengetik dan Bahasa Inggris. Aku yang masih kecil diminta oleh ayah untuk mengajar mengetik sepuluh jari blind system. Siapa takut? Kursus ayahku maju dan telah melahirkan ratusan murid-murid yang dapat mengetik cepat dengan baik berpatokan pada blind system.
Seiring berjalannya waktu yang bergulir, selesai sekolah sampai dengan SMA. Aku ingin sekali melanjutkan kuliah. Tapi ayahku menginginkan aku bekerja dulu, baru nanti kuliah. Aku pun bekerja di Kantor Sekretariat Negara, Jalan Merdeka Selatan. Aku tinggal di Kebayoranbaru, kami masih punya mobil kuno kalo gak salah merek Dodge, hehe...bukan Dog, ya... Aku bekerja diantar ayah pada awalnya tapi kemudian aku putuskan untuk mandiri berangkat sendiri ke kantor.
Waktu terus berjalan tak dapat dihambat...
Untung tak dapat diraih malang pun tak dapat ditolak, musibah menimpa keluarga. Kesehatan ayahku menurun dengan tiba-tiba, sehingga keluarga besar memutuskan untuk menjual rumah yang kami tempati dan mencari lokasi baru yang sejuk, segar untuk kesehatan ayah agar cepat membaik. Kota Bogor adalah pilihan kami. Setelah semua beres, aku tinggal di Bogor untuk beberapa lama. Aku mengajukan cuti tak dibayar (leave without pay).
Singkat cerita aku mendapat jodohku dan menikah di Bogor tapi tentunya setelah pernikahan aku harus ikut suami dan tinggal bersama di Kebayoran Baru.
Aku pindah bekerja di perusahaan General Motor di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Perusahaan besar yang berpusat di New York. Karena keberuntungan juga aku mendapat fasilitas sebuah rumah tinggal di wilayah Cilincing -- rumah dinas yang beberapa tahun kemudian bisa kami beli dengan cicilan dan akhirnya menjadi milik kami. Kota panas Jakarta Utara di mana anak-anakku dilahirkan dan dibesarkan.
Setelah anak-anakku dewasa, bekerja dan mendapat jodohnya masing-masing, kami pun hijrah dari Tanjung Priok ke wilayah Tangerang Selatan. Aku bermukim di Pamulang hingga sekarang.
Ini rumahku. Walaupun 4L tapi my home sweet home |
Setiap kota punya cerita. Jadi membayangkan romantisme di setiap kota.
BalasHapus
HapusHihihi...lbh kpd dinamika hidup ketimbang romantisme...
Wah udah ke mana2 akhirnya tinggal di Kebayoran Baru juga sama suami :D. Tapi sekarang insayAllah udah menetap di Pamulang ya Bunda?
BalasHapus
HapusIsti, sayangku,temanku di MFF, hehe...sekarang madih jd Nomaden a.k.a. gipsy karena direbutin 3 anak perempuan utk berviliran diinepin. What a life.
Bunda Yati nomaed ternyata ya dulunya hehehe. Kalau sekarang ada kemungkinan pindah lagi ga bun?
BalasHapus
HapusSekarang menetap tp tp seringnya di boyong2 anak2 nginep ke rumahnya. Badan 1 di : 3.
Pengalaman Buda Yati banyak ya, bisa tinggal di beberapa kota pastinya memberikan kesan mendalam terhadap Bunda Yati dalam perjalanan hidupnya
BalasHapus
HapusBetul, Rany, menjadikan bunda tegar dan tangguh menghadapi cobaan sesulit apapun. Rasa bersyukur yg selaku menguatkan diri.
Kota yg aku kenal hanya jakarta dan bogor aja itupun aku skrg tinggalnya di kabupaten bogor yg jaraknya dr jakarta cuma skitar 50km aja jd ga ada kesan gimana gitu hehe
BalasHapus
HapusDiah, bunda dulu waktu ting ting pernah lama juga tinggal di Tanah Sareal, Bogor sama nenek (deket Pacuan kuda, tp puluhan th y.l.)
Pindah dari satu kota ke kota lainnya tentunya banyak menyimpan kenangan dan cerita ya Bun... Semoga Bunda Yati tetap sehat dan bahagia. Aamiin.
BalasHapus
HapusBetul sekali, Dawiah. Terima kadih do'a buat bunda.
foto foto jadulnya berkesan banget bun, hehehe. aku pun menghabiskan masa kecil dengan berpindah pindah pelosok (bukan kota XD) karena ikut bapak yang dinas di perkebunan, hehehe
BalasHapus
HapusJama baheula mah lbh enak tinggal di perkebunan ketimbang di perkotssn pasca perang, gersang dan debu mulu.
Bunda berarti waktu kecil bisa Bahasa Jawa ya? Aku terpukau dengan perjalanan hidup Bunda.
BalasHapus
HapusRani, terpukau apa terharuuu...
wah bunda aku suka cerita bunda nih apalagi perihal bagaimana hati bunda akhirnya cair menerima sosok ayah yang dulu meninggalkan :) hati memaafkan pasti bisa cair ya bunda
BalasHapus
HapusHarus bisa, Herva, sayang. Kl kita tdk bisa mencairkan hati kita, siapa lagi. Dan itupun sudah pasti adabdorongan dari Allah Swt yang Maha Pemaaf dan Maha Penyayang.
Ternyata banyak juga pengalaman bunda Yati karena sering berpindah kota :)
BalasHapus
HapusPindah dr dita ke kota karena terpaksa, say..
Semangat yah mba, family is everything however its simpel ��
BalasHapusDan sukses selalu ��
HapusYes, absolutely, u r right. Family is important. Makadih do'a Ainhy buat bunda.
Seneng deh baca pengalaman bunda berpindah kota dari kecil. Sehat2 terus ya bun.
BalasHapus
HapusNgebayanginnya capek ya, tp mau gimana lagi. Jadikan pengalaman yg paling berharga. Makadih do'anya.
Lumayan ya bun banyak kota yang sudah disinggahi. Dan pasti banyak kenangan yang tertinggal disetiap kota :) saya baru merasakan tinggal di dua kota aja.
BalasHapus
HapusBetul, banyak suka dukanya.
Wah lumayan banyak juga nih kota-kota yang sudah ditinggali. Pernah di Bogor juga ya Buun
BalasHapus
HapusPernah mbak Hana, waktu tinggal sama nenek.
masya Allah bunda Yati, semoga sehat terus njih. Biar bisa kembali lagi mendatangi kota-kota tersebut.
BalasHapus
HapusAamiin, bunda juga mengharapkan itu. Semoga Siti dan kel juga sll sll dlm lindunganNya.
Waaaah, Bunda..... Kantor saya sempat dekat dengan Jalan Ciragil loh Bundddd.... Di Jalan Purnawarman.... Hihihi kalau makan sering lewat situ.... :)
BalasHapus
HapusHihihi..thn berapa, La? Sekarang no. 27 udah jd rmh megah ya. Jl Purnawarman tetangganya jl .Ginawarman, hehehe...
Wah Bunda Yati pernah tinggal di Jogja ya.
BalasHapusDan ternyata bunda dulunya Nomadenn juga
HapusNomaden tanpa rencana, say - karena sikon tuh.
Wah, bunda dari kecil hidupnya nomaden ya. Tapi biasanya orang yang nomaden cepet menyesuaikan diri dan cepet gaul dengan lingkungan sekitar ya, Bun
BalasHapusWaah pernah tinggl di Jogja juga yaa bun, sekarang pernah kangen Jogja gak bun? Main ke Jogja lagi doong :)
BalasHapusWah ternyata asli Cirebon dan sempat hijrah ke Yogya saat kecil ya bun? Alhamdulillah bisa tinggal sama org tua kandung dan bahagia sampai usia dewasa ya. Aku suka liat foto2 zaman lawasnya bun.
BalasHapusRumahnya di Pamulang kyknya asri ya :D
Wah, seru ya Bun bisa tinggal dari kota ke kota. Jadi tahu banyak kota. Tapinya, pasti ada suka dukanya. Aku kepengen deh bisa kayak gitu. Aku gak pernah ke mana2. Hehehehe...
BalasHapusKangen Yogya kah Bunda? Saya yang tidak pernah tinggal di sana aja selalu kangen untuk kembali loh. Apalagi bunda yaaaa yang pernah tinggal di sana meskipun memorinya mungkin tak terlalu banyak.
BalasHapusWah...5 kota? Saya yang baru dua kota saja, jadi baper melulu. Banyak kisah dan kenangan yang tidak bisa dilupakan ya..
BalasHapusHijrah dari kota ke kota pasti banyak kenangan nya ya Bun...tapi kalau udah punya teman dekat terus harus hijrah itu yang bikin aku sedih.
BalasHapusBanyak pengalaman yaaa bundaaa.. pindah ke banyak kota dan juga menjalani kehidupan baru. Seneng baca ceritanya bunda
BalasHapusAku percaya setiap kita dan di setiap kota pasti punya cerita yg unik untuk dibagikan. TfS ya kak
BalasHapusAah....masa-masa yang indah untuk dikenang yaa, Bunda.
BalasHapusAku jadi terkenang jaman dulu...bersama orangtua dan mas.
Alangkah bahagiaaanya....
Bunda Yati mukanya nggak berubah yaa dari dulu, hihi. Baru tau ternyata sempat lama juga tinggal di Jogja ya Bun. Yuk nostalgia ke sana. nanti ketemuan sama blogger Jogja yang ngehits dan baik hati itu, hahahaha.
BalasHapus